Rabu, 25 Maret 2009

Sekumpulan Tragedi dalam Tubuh Reggie




Judul: DETIK
TERAKHIR
Sutradara: Nanang Istiabudi
Skenario: Alberthiene Endah dan Twen Traval
Pemain: Cornelia Agatha, Sausan
Produksi: Indika Productions


Film ini dimulai dengan sebuah tragedi. Berakhir pada sebuah pembebasan.

Tragedi itu sebuah lubang tak berdasar bernama narkoba (narkotik dan obat-obatan berbahaya). Regi (Cornelia Agatha) dan Vella (Sausan) adalah sepasang kekasih yang terjun bebas ke dalam lubang itu, tanpa menyadari dalam dan hitamnya dunia itu.

Film yang diangkat dari kisah nyata yang ditulis oleh Alberthiene Endah ini (dengan judul asli Jangan Beri Aku Narkoba) dimulai dari akhir cerita. Regi telah menyentuh dasar lubang yang hitam itu. Dia ditemukan ayahnya tergeletak babak-belur dihajar centeng. Adegan berikutnya, dia sudah terdampar di sebuah panti rehabilitasi narkoba. Seorang wartawan datang, dan bergulirlah kisah ini kepada pemirsa:

Kisah yang hampir sama dengan cerita semua penderita narkoba di tahun 1960-an yang klasik: orang tua bertengkar melulu, ibu digampar, ayah selingkuh, anak kemudian bergaul dengan kelompok anak-anak dari keluarga broken home yang kemudian saling bertukar kisah tingkah laku orang tua masing-masing. Ringkasnya, Regi mulai berkenalan dengan happy powder alias kokain dan hingga akhirnya dia masuk dalam kategori junkie, seseorang yang darahnya sudah bergantung pada narkoba.

Tetapi bukan karena soal narkoba atau adegan sakaw yang membuat bioskop penuh sesak oleh penonton remaja yang bersuit-suit. Regi menemukan cintanya pada Vella, sesama wanita, sesama junkie. Maka, adegan ciuman, percintaan (yang toh dibabat oleh Lembaga Sensor Film), dan dialog cinta antara kedua perempuan ini dinikmati dengan reaksi yang ajaib oleh penonton kita: geli, aneh, dan penuh rasa ingin tahu (omong-omong, ada baiknya bioskop kita memberlakukan peraturan soal batas usia penonton yang keras dan disiplin, sehingga film dewasa seperti ini tidak ditonton remaja yang di bawah umur-Red).

Cornelia Agatha dan Sausan tampil bersinar. Tak mudah untuk muncul sebagai penderita narkotik yang sedang sakaw--terutama sinetron televisi kita tak bisa membedakan orang yang mabuk karena alkohol dengan orang yang sedang fly karena kokain--dan tak mudah pula tampil sebagai lesbian atau gay tanpa sebuah keterlibatan emosi dan riset yang panjang (dan jangan lupa: bakat). Cornelia dan Sausan berhasil meyakinkan penonton: pasangan itu memang saling mencintai, dan hubungan itu bukan sebuah eksperimen. Mereka menunjukkannya dengan adegan-adegan yang pas (saat Vella dan Regi baru berkenalan, dengan saling bertukar gelas bir dan senyum jatuh hati).

Nanang Istiabudi adalah seorang sutradara yang mempunyai bakat, yang memiliki kecenderungan bereksperimen pada emosi penonton. Penanganan terhadap novel yang penuh dengan tragedi di setiap napas ini--kekerasan rumah tangga, lesbianisme, narkoba--memang membuat kita sesak napas dan mempertanyakan fokus film ini, kisah film ini. Apakah ini film tentang derita Regi, atau film tentang hubungan cinta lesbianisme? Atau tentang bahaya narkoba? Atau tentang kegilaan yang bisa terjadi dalam rehab yang digambarkan dalam film ini lebih mirip rumah sakit jiwa?

Lalu, setelah penampilan Cornelia dan Sausan yang begitu kuat, kenapa adegan tembak-tembakan antara polisi dan bandar (atau apakah itu antara bandar dan bandar, ndak jelas je!) kembali pada penyakit film laga Indonesia: tidak seru, tidak tegang, malah menggelikan (dar-der-dor dengan senapan yang tak meyakinkan bunyinya). Kenapa pula adegan kejam pemerkosaan terhadap Vella harus dicampur dengan komentar komikal itu? Apakah reaksi yang wajar saat menonton adegan itu? Tercekam atau malah tertawa (seperti yang terjadi pada saat saya menonton di bioskop di mana penonton malah terbahak-bahak dan bertepuk tangan saat Vella diperkosa)? Dan, omong-omong, Cornelia yang tampil bagus itu juga agak terlalu fit dan sehat untuk seseorang yang sudah menjadi junkie.

Persoalan tragis ini kemudian jadi penuh tanda tanya, karena begitu banyak eksperimen dan keinginan untuk nyeleneh. Bagaimanapun, Nanang Istiabudi perlu diperhatikan, bukan karena sensasi film ini, melainkan karena bakatnya. Jika film ini kemudian penuh sesak oleh penonton karena sensasi, maka langkah berikut Nanang adalah menggerus bakatnya. Dia mampu menampilkan sesuatu, tanpa sensasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar