Minggu, 04 Oktober 2009

Salah Faham Itu

T'lah lama engkau menjgaku...
Meski tiada ucpan cintamu...
Hgga aq trpuruk pdamu...
Dan q tau kau mencntaiq...

Mngertilah arti sesuatu...
Kni aq sungguh rindukanmu...
Yg tlah lalu hnyalah egoq...
Tak sanggu p mnyakitimu...

Dengarkanlah, ku membtuhkanmu...
Meski engkau belumlah mlikq...
Hnya krna slah fham itu...
Kau menjauh drku...

Yg trjadi mengapa bgini...
Dua insan tk kunjg mngerti...
Rsa cnta dlu brsmayam...
Kni hnyalah dendam..


Liric by Dyah

Senin, 06 April 2009

Cinta Yang Tidak Pada Tempatnya

Cinta Yang Tidak Pada Tempatnya

Dyah U. K

Malam itu mulai tumbuh merangkak pada nadiku

Sunyi yang damai menghantarkannya ke depanku

Ketika kulihat ia duduk bersandar pada bahuku

Memberinya kenyamanan dalam dinginnya dunia


Ah... benarkah ini yang kulakukan ?

Tak pernah terfikir aku akan mencintainya

Tak pernah terfikir aku akan merindukannya


Lengannya berangsur membelaiku

Mencumbu bibirnya dengan kemesraan petang

Merengkuh hangatnya dengan nafas sang bulan



Aku cuma seorang perempuan

Dan dia pun juga hanya seorang wanita

Sama-sama rindu kehangatan

Sama-sama rindu keberadaan


Helaan nafas panjang mengakhiri segalanya

Telah bulat tekadku untuk terus terbang

Akan kuhalau cercaan para malaikat

Aku tak peduli

Aku hanya ingin bersamanya


Aku sedang jatuh cinta

Cinta yang tidak pada tempatnya



Januari, 2009

SUBUH YANG DIRATAPI

Subuh Yang Diratapi

Dyah U. K.

Demi subuh yang menyingsing pagi

Kuperkenalkan diriku yang penuh dosa

Hempasan ranting kering mengguyurku

Menjadikanku kuyup oleh kekeringannya

Basah oleh salahku sendiri


Meratapi kengerian senja kemarin

Dan kini takut pada kumandang adzan

Merangkak pada bayi kehidupan

Menjejalkan kaki pada jalanan baru


Cahaya putih yang terlampau

Pemberhentianku pada malam yang sesat


Oktober, 2008

BUNGA LAYU DI TEMARAM SENJA

Bunga Layu di Temaram Senja

Dyah U. K.

Resah mengalir dalam pagiku

Mengetuk pintu batu yang mengeras

Entah kenapa, justru aku menjemputnya


Dahan ungu di kabut putih

Pada senja temaram bersajak

Coretan takdir dari hidupku

Membahana untuk bunga yang mati


Layu.....

Higga tak bisa mati

Tak bisa kembali

Hanya sekarat dalam waktunya sendiri

Hingga masa dianggapnya hanya
merangkak

Kesal pada waktu yang belum juga
menjemputnya

Apa maunya ?

Jika hanya untuk mati

Mati sajalah engkau

Tak ada yang peduli

Pada bunga layu di temaram senja







September, 2008




Sajak Sunyi ke-22

Sajak Sunyi ke-22

Dyah U. K.

Pena itu terus bergerak menari membelai angan

Meluncur bersama sajak yang terus bersemi


Ah..... hari ini

Telah aku tuliskan sajak ini

Tentang sunyi, sepi dan sendiri


Telah lengkap kesedihan itu

Inilah sajak sunyi ke-22


Hey .....

Sajak mati bersendu

Saat cakrawala tak ada lagi batasnya

Sajak ini benar-benar mati olehnya


Toh sajakku tetap tercetak

Pena yang bosan itu tetap saja berteriak

Berontak pada jemariku yang usang


Aku....

Telah ku tulis sajak haru itu

Untuk menggapai pinsil warna dari malaikat

Untuk memulas dunia

Dengan warna yang tak rata

Seperti sajakku yang ke-22..


Februari 2008

Reinkarnasi Coretan Lama

Reinkarnasi Coretan Lama

Dyah U. K.

Hujan di

luar semakin deras

Menjatuhkan titik awal kehidupan

Menyeruakkan tanda tanya

Ketika hilang bersama masa


Desah petir mengalun

Menggambarkan keresahanku

Ketika gundahku bertengger di kaca

Menampar jendela dengan galau

Mencabik suasana dengan tangisnya


Oh...

Tulian ini hanya mengalir saja

Membelai anganku yang gundah

Coretan lama yang kuulang lagi

Yang dulu hanya bertajuk kengerian

Cerita lama yang hidup


Kabut jingga telah datang

Yang aku ciptakan

Dalam puisi duka yang lalu

Lontar usang yang mengerang

Bereinkarnasi pada tulisan-tulisan
kaku

Heh...

Pernahkah aku menulisnya ?


Pertanyaan retoris menembakiku

Mulutku tentu diam

Tak mau bicara walaupun ku ingin


Sunyi...

Diam-diam mengendap mendekat

Ritual awal mulau beranjak

Kami tak tahu apa yang selalu ada

Di balik waktu yang begitu anggun

Yamh mengalun lebih indah dari
lagu

Seolah ratu yang bijaksana pada rakyatnya


Januari 2008

Ikut Terhanyut

Ikut Terhanyut

Dyah U. K.

Padi membisik membelah hening

Kala pepohonan mulai mengantuk

Angin yang mengalir

Membujuk bersamanya


Hey...

Biarkanlah saja engkau terhanyut

Lepaskan saja, ikutlah mengalun


Biarkan hatimu menerimanya

Rahmat Allah Yang Maha Dikjaya


Awan bersambung yang mengapung

Seolah jembatan diatas sana

Sebagai jalanan antar samudera


Ah...

Dasar bodoh...

Kenapa aku tak ikut saja

Pada mereka selalu bahagia

Tiada resah pada dangkalnya mendung

Mereka bebas ...

Inginku...



Februari 2008

Ketika Gelap Menyisir Mentari

Ketika Gelap Menyisir Mentari

Dyah U. K.

Gelap itu kini telah bercengkerama padanya

Membabi buta menembus takdir adanya


Melewati batas alam

Memberikan kesan pada dunia

Bahwa batas telah semakin hilang


Gelap telah keluar dari kekuasaanya

Malam pun kini semakin sunyi ditinggal tuannya


Aku adalah gelap

Mampu menggores batas itu

Aku...

Mampu menyisir mentari

Mampu membelai rembulan

Akulah sang gelap


Aku yang sendiri

Bersekutu dengan masa yang berputar

Menjadikan siang menjadi panutan


Akulah....

Sang gelap yang menyisir mentari



Februari 2008

PENGECUT

Pengecut

Dyah U. K.

Tidurku tersita oleh mimpiku

Angan yang tak lagi punya peran di duniaku

Pembantaian yang begitu sulit diakhiri

Namun kenapa beberapa orang,.....

Ah, pantaskah mereka kusebut orang ?

Tapi mereka tak punya ekor untuk kupanggil binatang

Kata pengecut barangkali lebih tepat


Pengecut yang tak sadar dirinya pengecut

Hanya berani di bawah iba sang bunda

Sungguhnya ia takut pada dunia


Hamparan pasir-pasir melarat

Darah bumi bercucuran di mana-mana

Penjual senyum makin sedikit harganya

Masih kurangkah penderitaan di tanah kita ?


Hei, kau yang ku panggil pengecut

Di mana hatimu, dimana nuranimu

Dan dimana bukti bahwa kau manusia ?

Toh, Indonesia tetap sekarat

Dalam kekayaannya yang meruah

Digerogoti tikus-tikus pemerintah



Januari 2008

SENDIRI

Sendiri

Dyah U. K

Kala hening semakin membaur

Merapatkan tubuhnya pada keramaian kota

Melompati pagar-pagar kayu

Hingga berlari menanti usia


Kursi mati di sebelahku

Berdiri kaku

Ia mengerti aku termangu

Ia mengerti alam membisu


Sendirilah aku disini

Memintarkan diri yang semakin bodoh

Hingga akhirnya menyerah


Di tengah kamarku

Menengadah tapi ke bumi

Telah ada, langit tak sudi bicara

Hanya diam terbata

Menunduk selalu

Hingga pena ini berhenti berpikir




Desember 2007

Kantung Dosa

Kantung Dosa

Dyah U. K.

Ketika manusia terbelah

Tak bia bersatu seperti dulu

Umat yang saling berkhianat

Menjadikan pergulatan sebagai hal biasa


Pena alam telah mencetak

Sebelum manusia lahir

Telah ada takdir

Ada sutradara di balik tirai dunia


Pertunjukan dengan skenario kehidupan

Hanya mengalun

Menikuti arus masa


Yang Esa, rinduku...

Semakin membahana

Dalam hatiku yang kecil

Berteman kantung dosa yang sesak

Terlalu penuh untuk dihitung

Tapi sayang...

Tak banyak manusia adalah biasa

Semua kantung dosa telah penuh

Kemanakan dosaku akan ditampung ?



Januari 2008

BANGUN DENGAN JATI DIRI

Bangun Dengan Jati Diri

Dyah U. K.

Kicau burung yang mengiringi

Di kala aku bangun

Disapa bebatuan yang mengantuk


Di sana di seberang rumahku

Air menari gembira di bawah jembatan itu

Ikan-ikan yang bergumul

Seolah puas jadi dirinya


Melengkinglah suara itu

Kengerian dari dalam goa biru

Hantu yang terkejut pada ketakutannya


Diatas pematang rapuh

Ditengah hamparan kabut pucat

Disela-sela resah yang menyibukkan diri

Tampak jelas sesosok angin ingin menari


Kala aku bangun pagi itu

Mentari masih malu

Dia belum muncul dari kawah kesangannya

Sendiri di samping malam yang sepi

Menjadi melodi yang hanya melantun lemas

Mengiringi jati diri, yang tak pernah lekang berganti



Agustus 2007

Bauran Maya dan Nyata

Bauran Maya dan Nyata

Dyah U. K.

Ketika angan merambah menaiki tangga kehidupan

Merembes bersama keringat langit di muara manja

Kekakuan yang merajai kesunyian

Ketika karang batu membiru muram


Matahari merona ungu

Bersama paruh nila burung jingga

Di depan jendela sarangku yang berderit

Mengorbankannya pada pesugihan waktu

Menyibakkan rahasia lara yang nestapa


Semua guru memurid

Pohob-pohon bersujud

Belenggu maya pada fatamorgana

Hingga surga meneraka


Sangat nyata...

Bersama maya...

Ketika keheningan membaur dalam

Kecemasan yang menggaung

Bersama maya...

Dalam kepakan gelap Sang Elang

Bersama nyata

Berbaur maya...


Januari 2008


Laut Murka

Laut Murka

Dyah U. K.

Lenyapnya kesunyian itu

Seakan anugerah yang tidak pada tempatnya

Kesedihan yang mulai mengalir

Membanjiri kota dengan uap yang mendengking


Ketika langit cerah tanpa penghalang

Karena memang tak satupun masih berdiri

Seakan ingat akan Sang Kuasa

Seketika bersimpuh bersembah

Tak peduli manusia yang histeris

Melihat rerumahan berlutut di atas tanah


Kebahagiaan itu...

Dengan cepatnya berganti

Seolah tiada kala jeda

Hanya akhir yang seketika


Kini satu tanah telah goyah

Mendadak rata berkeringat laut

Mayat kaku dan rumah yang telah menjadi jenazah

Kuburan masal

Harga murah yang menyiksa


Itulah saat dimana Tuhanku marah

Hingga laut ikut murka meraba daratan


Januari 2008

PERJALANAN SENJA

Perjalanan Senja

Dyah U. K

Saat senja menghampiri kaki langit

Menetapkan waktu yang segera berakhir

Ketika malam merambah pecah

Menghempaskan tubuhnya pada kematian


Kala mentari mulai surut

Ku jejalkan langkahku pada jalanan

Memberi jejak keharuan

Yang kini hilang terseret awan


Perjalanan...

Tak seorangpun ada padanya

Rusuk ini tak dapat menahannya

Derit rasa berdesir perlahan

Membelah kelengahan yang menjalar


Oh...

Hidup begitu cepat

Perjalanan semu

Dengan kabut ungu

Membelaimu menuju gerhana bumi




Februari 2008

Tak Kembali

Tak Kembali

Dyah U. K

Pada masa yang berlari

Gantungan kayu yang membatu

Apa hendak di kata

Kayu bukanlah batu


Setiap guratan itu merengkuh angin

Meremasnya mengalahkan alam

Sungai yang kering itu menguning

Biarkanlah gelas pecah diatasnya

Apa daya yang pecah tiada kembali


Kesungguhan hati menciptakan angan

Merebak mengibaskan kuasa-Nya

Ketika tamparan hujan menggertak

Menggeram pada takdir yang sungguh adil

Karangan nadi yang mengalir

Memberontak diantara raungan kenestapaan


Toh semua tak akan kembali...

Masa terlampau kuat pada Tuhannya

Toh semua terus mengalir

Waktu tak akan mau menunggu

Siapalah dirimu yang kau sebut purba


Februari 2008

Waktu

Waktu

Dyah U. K.

Deritan jarum jam meresah dalam mata

Menggertak waktu yang terus bicara

Selalu berputar padanya setia

Hentinya sesaat ketika mati menghampirinya


Kala mesin-mesin itu berkuasa

Alat Tuhan yang dikirim-Nya


Saat batas senja pagi tak kentara

Saat batas hitam putih mengabur


Oh.... begitu tekunnya sang waktu mengalun

Tak kembali walau masih banyak yang tertinggal

Ia sadar apa arti dirinya

Ia sadar betapa penting dirinya

Namun ia tak pernah bicara tentangnya


Waktu...

Mengalir merdu membelah masa depan

Meninggalkan lalu

Menghempaskannya pada kenangan


Begitu lama kau melakukannya

Jadwal alam dari Sang Kuasa



Februari 2008

Kematian

Kematian

Dyah U. K.

Dari manakah datangnya suatu jeritan

Jika tidak dari nisan yang masih mengeLuarkan darah

Saat kudekap kabut yang menggerayangiku

Yang serupa dengan wajah yang terkubur dibawah nisan itu


Saat kabar kematian telah dikumandangkan oleh waktu

Saat langit mulai bosan dengan erangan burung itu

Pastilah ada seorang tua yang bergelut dengan kejenuhannya

Berlomba-lomba menuju gerbang putih yang memisahkan kehidupan


Siapakah yang lebih dulu dijemput oleh pengakhirannya ?

Seorang tua yang mulai bosan kehidupannya

Ataukah kehidupannya yang membosankan ?

Hanya teriakan langitlah yang bisa menjawab


Detak nafasnya yang ikut membayangi

Dengan pagar batu berwarna darah

Ditemani gumam angin yang menampar sang bulan


Tunggulah badai mengusung gelisahmu

Menjadikannya seonggok kecemasan



Mei 2007

Ego Yang Merajai Kebisuan Kita

Ego Yang Merajai Kebisuan Kita

Dyah U. K

Sahabat yang dulu selalu ada disampingku

Obat kesepian yang mengurung jiwa dalam kalbu

Rintihan egoku yang selalu menghinggapi anganmu

Rumah kecilku di dalam sarang pemberangkatanku

Yang kini hilang karena ambisi dan hasratku


Tiadakah nurani dalam diriku ?

Orang bilang seharusnya aku malu


Kata kasar yang terucap dari lidah konyol ini

Ikut merajai kebisuan antara kita

Kini aku sadar akan satu hal

Isyarat hati membutuhkan teman


Mungkin kini aku sudah terbangun

Yang dulunya aku hanya terlelap


Fatamorgana keegoisan yang menyergap diam-diam

Rasanya aku sangat butuh teman

Ingin rasanya aku minta maaf padamu, Teman

Tapi egoku yang terlalu tinggi meruntuhkan niatku

Namun kini aku berharap

Dendam kita sirna karna aku sangat membutuhkanmu



April 2007

Lembaran Usang Lontar Yang Menjawab

Lembaran Usang Lontar Yang Menjawab

Dyah U. K.

Fajar yang disambut mesra oleh embun

Gerimis yang datang berlompatan dari atap rumahku yang kelabu

Seolah mengeja seberkas sinar matahari yang mencoba menyusup


Di kejauhan burung-burung terkekeh

Melihat manusia yang mulai sadar akan kenyataan

Bahwa alam berubah mengerikan


Mungkin relief dalam salah satu sudut kuil kematian adalah benar

Bercerita tentang alam yang tak bisa selamanya menjadi kawan

Mungkin lagu-lagu yang anda lantunkan bukanlah lamunan

Kenyataannya kini alam sedang berperang


Mungkin inilah karma kita

Secuil balasan dari apa yang kita lakukan


Toh kita tak mau tahu

Nasib anak cucu yang kelak bertanya-tanya

Bagaimana bisa kita berada di tengah-tengah bencana ?

Sayang, kita tidak di sana untuk menjawabnya


Bencana alam yang menggusur manusia

Menggantikannya dengan Manusia kera pertama

Yang kelak akan menemukan

Lembaran usang lontar yang menjawab

Dari mana kita berawal ?




April 2007

MENANTI MUSIM

Menanti Musim

Dyah U. K.

Kala musim semi masih dalam perjalanan...

Engkau telah datang menghangatkan aku...

Menembus musim dingin di depanmu...

Menjemputku dengan lembaran kasih sayang...


Disinilah aku...

Menanti dirimu...

Di sebuah kuil adam dan hawa...


Telah aku kirimkan sepucuk cinta...

Balasan dari alunan rasa...

Yang telah kau beri melebihiku...


Kita disini menanti musim...

Sebagai adam dan hawa kedua...

Menjalin kasih merajut asmara...

Menentang takdir kita bersama...




Januari 2008

MATI

MATI


Gelap merambat membelai pepohonan

Menyetubuhi sungai kegelapan

Menganak cucu menjadi haru


Bersama petang menentang bulan

Menyembunyikan takut

Di balik tirai senja

Berkabut samar terbawa maya


Aliran sungai hitam

Dibawah hamparan daun romtok

Mengalir mengalun resah


Berdentang dalam rimba kehidupan

Menggema di ruas-ruas hutan kematian


Ah, . . . . .

kematian yang begitu dekat

Tak bisa lari

Seperti bayangan yang mencengkeram langkahmu


Menyerukan pelarian kehidupan

Memberikan jejak terbalik

Memudar bersama waktu



Desember 2007

MENTARI PAGI

MENTARI PAGI

Dyah U. K.

Fajar di kaki langit
Di ujung bumi
Pipi gunung merona merah
Mendadak gembira, setelah kabut hitam

Pekikan gembira menyongsong pagi
Menunggu mentari merambah tanah
Memberikan kecambah kebahagiaan
Menyemaikan bibit kedamaian

Inilah rahmat Sang Ilahi
Menyatu bersama hasil karya-Nya yang terdahulu
Bersama kepakan sayap hijau sang angin
Membahana bersama sinar merah
Menghantam menembus benteng malam
Menjajah petang yang kian tenang

Itulah kehendak-Nya
Jika suatu saat nanti . . .
Benteng malam akan bangkit
Tapi untuk saat ini
Sang Surya berkuasa atas gulita malam
Melahirkan pagi dan hari yang mulia


Desember 2007

HISTORIKA KEMATIAN

HISTORIKA KEMATIAN

by : Dyah U. Khasanah

Dosa berkecipak lega di telaga bahasa

Membelah purba menjembatani dengki

Lukisan bisu gambar maya

Mati . . .

Digantung di dinding-dinding kota


Berikutnya kelelawar berteriak

Menengadah ke bumi

Karena langit tak mampu lagi menerima

Jeritan gedung mencekik


Jalan-jalan terbujur kaku

Menentang takdir alam di belakangnya

Kursi kayu berdentang beriringan

Menari dalam keheningan

Seiring genta mengalun membubung

Rintihan sesal mengbingkai kalbu

Aribaan petang menambah sayu


Lantunan musik lelayu

Bergelantung pada kabut jingga

Meruntuhkan kubur yang sudah puing

Rahim alam mulai bosan




Desember 2007

Kesendirianku

Kesendirianku

by : Dyah U. Khasanah

Malam datang memberi kejutan

Melaksanakan titah Tuhannya

Menjaga tidurmu


Begitu pekat malam di balik lentera

Keusangannya tak tampak dalam gelapnya

Tak lelah memberikan ketenangan

Saat hati kecil berteriak berontak


Malam...

Dalam jeruji kuasa Tuhan

Tiada yang sanggup merobohkanmu

Hanya sang pengecut yang segera berlalu


Huh...

Kesepian ini benar-benar kurasakan

Kini aku paham arti kesendirian

Toh...

Tah ada yang peduli

Hanyalah rumput gersang terinjak musim

Hanya sungai kering terpecah waktu

Akulah . . .




Februari 2008

Bisakah ?

Bisakah ?

by : Dyah U. Khasanah


Semilir angin yang membuatku takjub keesaan-Nya

Daun pohon jagung melambai dibawah lindungan awan

Suara itu seakan menjauh

Menidurkanku pada siang yang panjang

Tak hentinya angin berhembus

Mengibaskan sayapnya yang luas di sampingku


Ketika kucing di sampingku mulai pergi

Jejaknya menutup guratan tanah bosan


Bisakah ?


Bisakan hal ini juga terjadi padaku ?

Kengerian yang menggerayangi tubuhku

Menghempaskannya pada tanah lesu

Di samping tanaman perdu yang kecewa

Kenapa ia tak juga tumbuh tinggi ?




Juli, 2007


Sungai Beku

Sungai Beku









Sine, 28 Desember 2008


By
Dyah U. K.






Sebuah cerita fiksi bertajuk mistis

Sihir sederhana dengan balutan suasana kengerian

Jemputlah rasa takutmu !









1
Sungai Beku

George ternganga ketika melihat kilatan cahaya merah di dalam air. Ia sedang dikerjai teman-temannya. Sebuah cahaya kuat dari sebuah logam di bawah endapan pasir di dasar sungai Beku yang penuh misteri. Sungai yang mengandung legenda mengerikan.
Memang ada legenda yang menyebutkan bahwa ratusan tahun yang lalu terjadi pertempuran hebat di lembah sungai itu. pertempuran antara bangsa suku Whire dan suku Gourt. Kedua suku yang sama-sama mempunyai aliran mistis kuat. Menurut legenda, tak ada yang menang di antara dua suku itu, keduanya sama-sama kuat. Bertarung mati-matian untuk membela sukunya masing-masing. Bertarung hingga tetes darah penghabisan sebagai perjuangan mempertahankan kehormatannya. Sama-sama menjajah, sama-sama terjajah. Sama-sama membunuh, sama-sama dibunuh. Sama-sama mati dan sama-sama hidup. Sungguh tak berbeda antara dua suku ini.
Konon setelah tujuh tahun berperang dan tidak ada pemenang, keduanya mengambil keputusan untuk berdamai. Terlalu banyak darah yang tumpah, terlalu banyak nyawa yang hilang, dan terlalu banyak istri dan anak terlantar.

2
Kilatan Merah

Hingga 222 tahun kemudian, seorang George Quereen sedang mendapat masalah dengan teman seperguruannya. Ia memang lebih suka membaca buku dari pada mendengarkan gurunya berceramah. Ia lebih suka memperhatikan matang-matang sebuah gerakan beladiri, daripada menghafal seluruh jurus. Ia memang paling lambat saat awal materi suatu jurus, namun ia akan menjadi paling sempurna dan paling pandai menggunakan jurus itu dibanding kawan-kawannya. Memang begitu cara berpikirnya, ia memperhatikan tiap gerakan dengan seksama, secara bertahap. Ia akan memilih untuk berhenti saat ia tidak mengerti daripada melanjutkan dengan modal ketidakmengertian. Lambat tapi cepat. Cermat tapi cerdik. Malas tapi rajin pada tempatnya. Atas kelakuannya tersebut ia tidak mendapat banyak teman. Banyak yang iri padanya karena guru mereka sangat bangga pada seorang George. Hampir tiap hari George harus bersiap menerima hadiah dari temannya berupa pukulan, tendangan, cemooh, bahkan penyiksaan. Dan kali ini sasarannya adalah sungai. Mereka menyeret George ke lembah yang rimbun semaknya agar aman saat menyiksa George. Mereka berlima. Dua dari mereka masih di atas lembah, sedang tiga lainnya mencengkeram tangan George ke tengah sungai. Geprge hanya pasrah karena memang malas untuk melawan. Mereka benamkan wajah George dalam air sambil tertawa nyaring. George sudah menebak apa yang akan mereka lakukan. Dengan tenang ia hanya menghirup nafas panjang tenang sebelum dibenamkan. Dalam air ia hanya tenang, mencoba membuka matanya, karena ia tahu ia akan dapat bertahan beberapa menit dengan teknik pernafasan dasar yang diajarkan gurunya. Dan temannya akan bosan menunggunya berendam dalam air. Dalam air ia buka matanya, sekilas ia lihat kilauan cahaya merah dari bawah endapan pasir. Ia pertajam matanya, hingga ia tahu bahwa kilatan itu berasal dari sebuah benda logam. Awalnya ia menyangka itu adalah emas, namun kelamaan ia amati benda itu tajam.
Tiba-tiba teman-temannya menariknya dari dalam air. Mereka heran kenapa George tidak kehabisan nafas. Tapi mata George hanya tertuju pada benda logam dengan kilatan cahaya merah yang telah merenggut konsentrasinya tadi. Teman-temannya memandang George dengan curiga dan ketika mengerti bahwa George manatap sesuatu, segera mereka alihkan pandangan mereka pada timbunan pasir di bawah aliran sungai. Mereka memincingkan mata, mencoba mencari-cari apa yang George perhatikan. Namun tak ada apa-apa.
“Apa yang kau lihat, heh ?” satu temannya bertanya ingin tahu.
George hanya diam. Pandangannya tetap tertuju pada gundukan pasir di bawah air. Seperti tak ada yang dapat mengalihkan perhatiannya. Tiba-tiba yang bertanya tadi menghantam perut George dengan kepalan tangannya. Spontan George terpekik kaget karena tak siap untuk menahan pukulan itu. Darah segar menetes dari mulutnya, jatuh ke air sungai, bercampur, dan turun ke pasir di bawah air. Menyentuh logam berkilat itu.
Sebelum sadar apa yang akan ia perbuat, teman-temannya menegakkan badannya, tertawa riang. “Apa yang kau lihat?” yang lain bertanya.
George heran. Ternyata teman-temannya tak dapat melihat apa yang ia lihat. Mereka tidak dapat melihat kilatan cahaya merah yang berasal dari logam di bawah pasir itu. tanpa ia sadari rasa takut menyergapnya. “Benda apa itu?”tanyanya dalam hati. Tapi dengan cepat ia kuasai rasa takut itu. dan hanya menjawab, “Hanya seekor ikan yang sekarat karena dikeroyok teman-temannya.”
“Heh ! Kau mengejek kami ya ? kau pikir kami hanya bisa keroyokan ? Awas Kau !!!!” salah satu temannya melayangkan pukulan menuju rusuk kirinya.
Dengan sigap George menangkis serangan itu dan membalikkan keadaan. Ia kini siap menyarangkan pukulannya ke ulu hati anak itu. namun diturunkannya tangannya. “Aku tak ingin mencari perkara, dan aku tak ingin kalian nantinya malu dengan diri kalian sendiri.” Lalu ia melangkah ke tepian meninggalkan temannya yang bingung. Sampai di tepian kedua temannya yang menunggu siap melayangkan tendangan ke kepalanya. George hanya berhenti dan menangkis tendangan itu dengan kakinya. Kedua temannya terguling di semak rimbun. George melanjutkan langkahnya sambil mengusap darah dari mulutnya dengan santai kembali ke perguruan, seolah tak terjadi apa-apa.
Teman-temannya hanya terkesiap di tempat mematung seolah heran dengan George yang tiba-tiba memberontak, padahal selama ini ia hanya pasrah seolah tak berdaya.

3
Kaulah Tuannya

Malam itu George tak bisa tidur. Ia hanya terbayang kilatan merah dalam air tadi siang. Ia ingat betul ada satu simbol di pangkal logam itu. Symbol bergambar dua lingkaran dalam gelombang dan dibawahnya ada garis lurus. Ia masih terbayang dengan simbol itu. dia bangun dari tempat tidurnya dengan tergesa-gesa, diraihnya lampu petromax dan mengendap melalui koridor gedung sekolah tua itu. sampai di persimpangan menuju perpustakaan ia hentikan langkahnya, celingukan kesana-kemari mencari-cari sesuatu yang tidak ada, penjaga. Diteruskannya langkahnya hingga hampir mencapai pintu perpustakaan, terkaget ia saat ia seperti ditarik oleh sesuatu ke belakang. Ia menoleh dan ternyata kepala sekolah dibelakangnya.
“Emmm.... Sel....selamat mal...malam, PP..p..p Pak !
“Malam, George. Kenapa kau disini ? tak seharusnya kau belum tidur.”
“ Em... saya... saya... saya seddaaang..... sedang....,” dijawabnya gagap, hingga akhirnya ia tarik nafas panjang ,”Huh....” Pak, saya kesini karena mencari arti dari suatu simbol yang saya temukan tadi siang, Pak. Maaf saya lancang.”
“Hm.... simbol apa yang membuatmu begitu tertarik dan senekat ini ?”
“Itu adalah sebuah simbol dengan gambar dua lingkaran dikelilingi garis bergelombang diatas sebuah garis lurus. Aku menemukannya di sungai, Pak.”
Kepala sekolah terbelalak mendengar cerita George, seolah ia tahu dimana maksud pembicaraan George. Ia tahu sesuatu tentang itu. “Sungai mana?”
George berfikir sejenak lalu menatap mata Kepala sekolah yang sudah terbelalak. Keduanya menebak fikiran lawan bicaranya. Seolah ada telepati antara keduanya. Bersamaan mereka menjawab, “Sungai Beku.”
Kepala menghela nafas panjang, amat panjang, seolah sesuatu yang besar telah terjadi.”George, bisakah kau ke ruanganku sekarang?”
“Tentu , Pak”
Mereka lantas berjalan menuju ruangan kepala sekolah, pintunya terbuka sehingga tampak dari luar bahwa ruangan itu tidak terlalu mewah tetapi sangat nyaman dan menentramkan.
“Dengarkan aku, George,”Kepala sekolah memulai. “Kau tahu bahwa legenda di sini mengatakan bahwa ratusan tahun yang lalu ada perang hebat antara suku Gourt dan Suku Whire di lembah Sungai Beku.”
“Ya, Pak. Dan Sungai Beku menjadi angker karenanya. Tapi mereka akhirnya berdamai dan hidup bahagia hingga saat ini.
“Itu tidak seluruhnya benar, begini cerita yang sesungguhnya. Setelah berperang selama 7 tahun, mereka akhirnya berdamai. Namun, diantara manusia-manusia yang lelah berperang itu, masih ada satu orang yang tidak menerima perdamaian itu. Jim Clarckson, dari suku Gourt, seorang berpola pikir dangkal, emosional, dan menelan semua kenyataan mentah-mentah. Jim memang punya kelainan pada otaknya, tak bisa memaafkan. Di malam pertama perdamaian itu, semua orang tertidur lelap, damai, tanpa ancaman. semua ngaso dari keletihan selama 7 tahun. Tapi tidak bagi Jim. Sambil mengendap-endap ia keluar dari barak anggotanya. Saat itu malam yang terang, bulan purnama bersinar dengan sempurna, menjadikan malam tak ubahnya dengan siang. Hewan-hewan kecil mulai bernyanyi mengiringi kedamaian tidur pada prajurit yang sudah lelah. Jim berjinjit keluar dari baraknya. Dibukanya tenda dengan sangat hati-hati, keluarlah ia. Dipandangnya langit dengan tatapan nanar, saat yang ia tunggu telah datang. ia berlari kecil ke tengah sungai. Dilihatnya air sungai yang sejuk mengalir di sela-sela kakinya. Lalu ia benamkan telapak tangan kirinya dalam air, tangan kanannya mengambil sebuah belati dari balik bajunya. Masih dipandangnya air sungai yang kemilau oleh bulan purnama. Dibacanya sebuah kalimat, bahasa Gourt, ‘Hersaaga seh kipreenastika ik leis ta ozkai’. Air sungai yang tenang itu kini meninggi, sebatas pinggang Jim, hingga ia tak perlu membungkuk untuk telapaknya tetap terbenam. Ia tarik nafas panjang, menegakkan dirinya, dan mengacungkan belati itu tepat di wajah bulan, berteriaklah ia, ‘Hersaaga fisiorta los ques harsuuta’. Ia tutup kedua matanya, ia tajamkan telinganya. Semua prajurit terbangun oleh teriakan Jim, semua keluar dan terbelalak melihat sungai itu. Tiba-tiba air sungai itu naik dan semakin naik, mencapai tepian barak kedua suku, menenggelamkannya. Memenuhi lembah itu dengan air yang tak mengalir. Tak ada yang selamat. Semua terlalu cepat hingga yang menyadarinya pun tak bisa lari. Semua prajurit dari kedua suku bersama Jim, sudah tenggelam, kini melayang dalam air, mencoba berenang ke atas. Tiba-tiba Jim menusukkan belatinya tepat pada jantungnya. Dan seketika itu permukaan air sungai itu menjadi es. Orang-orang yang mencoba berenang tak cukup cepat untuk mendahuluinya. Mereka terperangkap dalam kolam berlapis es. Hanya bisa memberontak pada es itu, dengan mata penuh ketakutan, kengerian, takjub, dan pasrah. Mulut mereka terbuka mencoba meneriakkan sesuatu, namun hanya air yang keluar dari mulut mereka. Mereka memukul-mukul lapisan es itu dengan kepalan tangan mereka, namun percuma. Jim hanya tersenyum pahit. Di cabutnya belati itu dari tubuhnya. Kini darah Jim mulai meninggalkan tubuhnya. Saat darah itu bercampur dengan air sungai, tiba-tiba air itu membeku, dengan semua orang terperangkap di dalamnya. Berpose panik mencoba keluar, tapi telah membeku. Mayat-mayat beku dalam es sepanjang lembah itu. Mayat dengan wajah panik, marah, dan dingin. Hanya satu wajah yang tetap tersenyum, Jim. Arwah semua yang mati hari itu terperangkap dalam belati milik Jim, yang lalu menyala merah dalam es. Berpendar bagai api yang sangat panas. Belati api dalam bekunya es. Esoknya, sinar mentari merah merekah di balik rimbunnya semak di lembah itu, menyinari ratusan mayat beku di sungai Beku. Membenamkan wajah mereka pada es yang kini berkilauan merah karena sinar matahari. Hangatnya segera menyinari bumi hijau. Hari semakin hangat dan semakin panas, namun anehnya es itu tak kunjung mencair. Tetap membatu dengan relief kehidupan yang terhenti. Hingga saat matahari mencapai titik tengahnya, tepat pada wajah bulan tadi malam. Tiba-tiba semua menghilang. Hanya lenyap begitu saja, tidak terbang ataupun ditelan bumi. Es itupun tidak mencair, tapi sekejap hilang bersama wajah-wajah beku di dalamnya. Entah kemana semua mayat, es, tenda, batu, ikan, dan belati itu. semua hilang, lenyap, hanya meninggalkan kabut putih tipis yang sangat dingin di lembah itu. sekejap lembah itu kering, tanpa air. Semua lenyap. Saat matahari mulai padam, terbenam, digantikan cahaya bulan purnama ke 2 bulan itu. semua berubah. Bulan merangkak menuju titik balik pusatnya. Dan ketika ia tiba. seketika terdengar gemuruh dari hulu sungai. Air mengalir deras setinggi bukit membanjiri lembah yang sudah kering itu. bersama batu, ikan, dan belati api. Lembah itu kini menjadi seperti semula, sebelum ada pertempuran, damai. Hanya satu yang berbeda, terselip satu belati kecil dengan kilatan merah sepanjang garis tajamnya, dibawah endapan pasir dalam arus air sungau. Diam, menunggu tuannya yang baru. Dia tak akan dapat ditemukan, kecuali oleh tuannya. Dia tak akan dapat dilihat sebelum ia tersentuh oleh majukan barunya. Hanya tuannya yang telah ia pilih yang dapat melihat dan menemukannya. Dan tuan yang telah dipilih belati itu adalah kau, George.”

4
Pertarungan

George terbelalak. Matanya melotot dan rahangnya terbuka menahan kekagetannya. “Aku ?.... Kenapa harus aku ? Apa yang harus kulakukan?” tanyanya dengan nada kebingungan. Mereka terdiam.
“George, kau harus membebaskan jiwa ratusan orang yang membeku dalam belati itu.” sahut Kepala sekolah akhirnya.
“Aku ? T....tap.....tapi..... tapi... bagaimana ?
“Upacara Deshire.”
“Ap.... Deshire? Aku tidak mengerti.”
“Itu adalah upacara pembebasan arwah yang terperangkap yang dilakukan oleh nenek moyang kita ratusan tahun lalu. Upacara yang mengerikan namun kau harus melakukannya agar arwah mereka tidak mencari sahabat.”
“Sahabat ?”
“Kau pikir kemana para gadis dan anak-anak yang hilang setiap tahun dari desa kita ?”
“Baiklah.”Jawab George mantap. “Aku tak takut”.
“Kita lakukan malam ini, karena ini malam purnama pertama bulan ini. Dan bertepatan 222 tahun kejadian berdarah itu. jika tak kau lakukan malam ini, maka malam ini kejadian 222 tahun yang akan terulang tidak hanya di lembah Beku, namun seluruh bumi hijau. Kau harus persiapkan dirimu.”
“Hidup adalah pilihan, namun juga ada takdir. Jika takdirku mati maka aku memang harus mati. Aku siap setiap saat menghadapi takdirku.”
Mereka berjalan beriringan menuju sungai Beku yang menyeramkan. Diiringi terang bulan yang sempurna seperti dulu. Gemericik air terdengar dari air jernih berkilau yang memantulkan sinar rembulan.
“Ini sudah tepat tengah malam. Masuklah ke air dan panggillah belati itu! dengan ini” perintah Kepala sekolah sambil memberikan sebuah kertas usang kecil pada George.
George menjejalkan kakinya pada air jernih itu. saat ia menyentuh air. Dirasakannya suatu detak jantung lain dalam tubuhnya. Detak jantung banyak manusia. Detak itu membuat jantungnya seolah tidak kuat menahannya. Ia serasa hendak terjatuh.
“George ! Jangan mau terjatuh !!!!! itu hanya tipuan mereka !”teriak Kepala Sekolah.
George tersadar oleh teriakan itu . ia coba menahan rasa sakit jantungnya, menuju tengah sungai. Sampai ditengah sungai, ia merasakan suatu yang berbeda dalam tubuhnya. Jiwa lain, bukan jiwanya, jiwa yang penuh amarah, kebencian, dan kengerian. Jiwa Jim.
Tapi George tak sebodoh Jim yang berakal pendek. Ia sadar bahwa dirinya hampir diambil alih. dia sadar dia harus melawan jiwa Jim dalam dirinya. Tak terelakkan pertempuran dalam diri George terjadi. Dari luar Kepala Sekoalh dengan cemas melihat George yang seperti orang kesetanan. Berbicara dengan dua suara. Dua watak, dua tujuan, dan dua pandangan mata.
George terjerembap dalam sebuah tempat yang maha luas. Putih, bersih, tak ada apapun. Lalu didepannya muncul sesosok tubuh dengan pakaian prajurit lengkap dan sorot mata kebengisan, Jim. Jim mengangkat tangannya memegang sebuah belati berkilau merah dan siap menebas leher George. Tapi George sadar.belati itulah yang harus ia rebut sebelum bulan purnama habis. Ia tahu bahwa tak mungkin ia menang dengan mempraktekkan bela diri dari gurunya. Ia hanya bisa menghindr dari serangan-serangan Jim, dalam situasi kritis, tiba-tiba ia sadar bahwa Jim kalah dengan amarahnya sendiri. Ia tak akan kalah seperti Jim. Ia duduk bersila, berkonsentrasi, membuang semua fikiran dalam pikirannya. Terfokus. Jim siap mengayunkan belatinya membelah kepala George. Diayunnya belati itu. tapi tiba-tiba belati itu hilang, begitu juga dirinya. Kini George menang. Ia kembali menguasai dirinya.
Ketika George sadar, Kepala Sekolah sudah berteriak teriak, “Cepat, Waktunya !” George mengerti. Ia benamkan telapak tangan kirinya, tangan kirinya memegang kertas usang dan kemudian ia baca ,” Hersaaga seh kipreenastika ik leis ta ozkai”. Air sungai itu meninggi setinggi lutut, kemudia dilanjutkannya membaca ,”Hersaaga fisiorta los ques harsuuta’. Tiba-tiba air di sekeliling George meninggi membentur pusaran air dengan George sebagai pusatnya. Mengelilinginya setinggi dua kaki di atas kepalanya. Bagian atas pusaran itu menyatu membentuk suatu puncak. Dari puncak itu melesat sebuah logam berkilau merah. Belati. Air sungai tiba-tiba seperti kehilangan semua kekuatannya. Tiba-tiba berhenti dan terjatuh di tubuh George. George basah kuyup oleh air itu dan oleh keringatnya sendiri.

Belati itu kini melayang di udara terbakar api merah menyala. Kepala Sekolah berseru “George, panggil dia !” George bingung bagaimana memanggilnya. Lalu ia teringat kejadian ketika ia di kerjai teman-temannya. Di gigitnya ujung jari tengahnya, lalu ia memanggil belati itu dengan hatinya. Menyamakan detak jantung dan perasaannya. Belati itu menurut. Ia turun mendekati tetasan darah yang jatuh ke sungai. Ke tangan George. George memegangnya dengan tangan kanan dan tangan kirinya kembali ia benamkan dalam air seraya membaca ‘Hersaaga seh kipreenastika ik leis ta ozkai’. Entah kenapa ia begitu lancar kali ini tanpa menghafalnya. Lalu ia acungkan belati itu ke wajah bulan. Di bacanya ‘Hersaaga fisiorta los ques harsuuta’. Air sungai kembali bergelombang. Namun kali ini hanya setinggi pinggang George, berputar mengelilingi George. Belati itu bercahaya semakin terang. Dari ujungnya keluar kabut-kabut putih yang beterbangan dan menghilang. Arwah-arwah itu sedang keluar dari belati itu. semakin lama semakin kuat. George tidak sanggup lagi berdiri. Ia terjatuh berlutut, tangannya tetap mengacung ke wajah bulan. Tenaga belati itu makin kuat. Cahayanya semakin terang, hingga kilatan cahaya terakhir berwarna merah darah bercampur hitam, George tak mampu lagi bertahan. Ia pingsan di sungai itu.

5
Hanya Belati Biasa

George membuka matanya yang masih sayu. Ia sudah berada di kamarnya, dan ada Kepala Sekolah di samping ranjangnya.
“George !” Teriak kepala sekolah. “Kau sudah bangun ! Kita berhasil !”
“Pak, bukankah saya pingsan kemarin malam ?”
‘Ya, dan kaun pingsan setelah iblis terkuat, yaitu hawa jahat yang ada pada Jim sudah keluar dan lenyap dari belati itu. dan sekarang, ini sudah bukan apa-apa lagi.” Kata Kepala Sekolah sambil menunjukkan belati dari logam, tapi tak berkilau merah. Itu hanya belati biasa sekarang



)*
Dyah uswatun Khasanah
Lahir 4 Mei 1992, penulis pemula
Ekspresionastis, fiksioner
Dreamer, nonlogis
Siswi
0857 36 77 3838
dy.galz@gmail.com