Senin, 06 April 2009

Sungai Beku

Sungai Beku









Sine, 28 Desember 2008


By
Dyah U. K.






Sebuah cerita fiksi bertajuk mistis

Sihir sederhana dengan balutan suasana kengerian

Jemputlah rasa takutmu !









1
Sungai Beku

George ternganga ketika melihat kilatan cahaya merah di dalam air. Ia sedang dikerjai teman-temannya. Sebuah cahaya kuat dari sebuah logam di bawah endapan pasir di dasar sungai Beku yang penuh misteri. Sungai yang mengandung legenda mengerikan.
Memang ada legenda yang menyebutkan bahwa ratusan tahun yang lalu terjadi pertempuran hebat di lembah sungai itu. pertempuran antara bangsa suku Whire dan suku Gourt. Kedua suku yang sama-sama mempunyai aliran mistis kuat. Menurut legenda, tak ada yang menang di antara dua suku itu, keduanya sama-sama kuat. Bertarung mati-matian untuk membela sukunya masing-masing. Bertarung hingga tetes darah penghabisan sebagai perjuangan mempertahankan kehormatannya. Sama-sama menjajah, sama-sama terjajah. Sama-sama membunuh, sama-sama dibunuh. Sama-sama mati dan sama-sama hidup. Sungguh tak berbeda antara dua suku ini.
Konon setelah tujuh tahun berperang dan tidak ada pemenang, keduanya mengambil keputusan untuk berdamai. Terlalu banyak darah yang tumpah, terlalu banyak nyawa yang hilang, dan terlalu banyak istri dan anak terlantar.

2
Kilatan Merah

Hingga 222 tahun kemudian, seorang George Quereen sedang mendapat masalah dengan teman seperguruannya. Ia memang lebih suka membaca buku dari pada mendengarkan gurunya berceramah. Ia lebih suka memperhatikan matang-matang sebuah gerakan beladiri, daripada menghafal seluruh jurus. Ia memang paling lambat saat awal materi suatu jurus, namun ia akan menjadi paling sempurna dan paling pandai menggunakan jurus itu dibanding kawan-kawannya. Memang begitu cara berpikirnya, ia memperhatikan tiap gerakan dengan seksama, secara bertahap. Ia akan memilih untuk berhenti saat ia tidak mengerti daripada melanjutkan dengan modal ketidakmengertian. Lambat tapi cepat. Cermat tapi cerdik. Malas tapi rajin pada tempatnya. Atas kelakuannya tersebut ia tidak mendapat banyak teman. Banyak yang iri padanya karena guru mereka sangat bangga pada seorang George. Hampir tiap hari George harus bersiap menerima hadiah dari temannya berupa pukulan, tendangan, cemooh, bahkan penyiksaan. Dan kali ini sasarannya adalah sungai. Mereka menyeret George ke lembah yang rimbun semaknya agar aman saat menyiksa George. Mereka berlima. Dua dari mereka masih di atas lembah, sedang tiga lainnya mencengkeram tangan George ke tengah sungai. Geprge hanya pasrah karena memang malas untuk melawan. Mereka benamkan wajah George dalam air sambil tertawa nyaring. George sudah menebak apa yang akan mereka lakukan. Dengan tenang ia hanya menghirup nafas panjang tenang sebelum dibenamkan. Dalam air ia hanya tenang, mencoba membuka matanya, karena ia tahu ia akan dapat bertahan beberapa menit dengan teknik pernafasan dasar yang diajarkan gurunya. Dan temannya akan bosan menunggunya berendam dalam air. Dalam air ia buka matanya, sekilas ia lihat kilauan cahaya merah dari bawah endapan pasir. Ia pertajam matanya, hingga ia tahu bahwa kilatan itu berasal dari sebuah benda logam. Awalnya ia menyangka itu adalah emas, namun kelamaan ia amati benda itu tajam.
Tiba-tiba teman-temannya menariknya dari dalam air. Mereka heran kenapa George tidak kehabisan nafas. Tapi mata George hanya tertuju pada benda logam dengan kilatan cahaya merah yang telah merenggut konsentrasinya tadi. Teman-temannya memandang George dengan curiga dan ketika mengerti bahwa George manatap sesuatu, segera mereka alihkan pandangan mereka pada timbunan pasir di bawah aliran sungai. Mereka memincingkan mata, mencoba mencari-cari apa yang George perhatikan. Namun tak ada apa-apa.
“Apa yang kau lihat, heh ?” satu temannya bertanya ingin tahu.
George hanya diam. Pandangannya tetap tertuju pada gundukan pasir di bawah air. Seperti tak ada yang dapat mengalihkan perhatiannya. Tiba-tiba yang bertanya tadi menghantam perut George dengan kepalan tangannya. Spontan George terpekik kaget karena tak siap untuk menahan pukulan itu. Darah segar menetes dari mulutnya, jatuh ke air sungai, bercampur, dan turun ke pasir di bawah air. Menyentuh logam berkilat itu.
Sebelum sadar apa yang akan ia perbuat, teman-temannya menegakkan badannya, tertawa riang. “Apa yang kau lihat?” yang lain bertanya.
George heran. Ternyata teman-temannya tak dapat melihat apa yang ia lihat. Mereka tidak dapat melihat kilatan cahaya merah yang berasal dari logam di bawah pasir itu. tanpa ia sadari rasa takut menyergapnya. “Benda apa itu?”tanyanya dalam hati. Tapi dengan cepat ia kuasai rasa takut itu. dan hanya menjawab, “Hanya seekor ikan yang sekarat karena dikeroyok teman-temannya.”
“Heh ! Kau mengejek kami ya ? kau pikir kami hanya bisa keroyokan ? Awas Kau !!!!” salah satu temannya melayangkan pukulan menuju rusuk kirinya.
Dengan sigap George menangkis serangan itu dan membalikkan keadaan. Ia kini siap menyarangkan pukulannya ke ulu hati anak itu. namun diturunkannya tangannya. “Aku tak ingin mencari perkara, dan aku tak ingin kalian nantinya malu dengan diri kalian sendiri.” Lalu ia melangkah ke tepian meninggalkan temannya yang bingung. Sampai di tepian kedua temannya yang menunggu siap melayangkan tendangan ke kepalanya. George hanya berhenti dan menangkis tendangan itu dengan kakinya. Kedua temannya terguling di semak rimbun. George melanjutkan langkahnya sambil mengusap darah dari mulutnya dengan santai kembali ke perguruan, seolah tak terjadi apa-apa.
Teman-temannya hanya terkesiap di tempat mematung seolah heran dengan George yang tiba-tiba memberontak, padahal selama ini ia hanya pasrah seolah tak berdaya.

3
Kaulah Tuannya

Malam itu George tak bisa tidur. Ia hanya terbayang kilatan merah dalam air tadi siang. Ia ingat betul ada satu simbol di pangkal logam itu. Symbol bergambar dua lingkaran dalam gelombang dan dibawahnya ada garis lurus. Ia masih terbayang dengan simbol itu. dia bangun dari tempat tidurnya dengan tergesa-gesa, diraihnya lampu petromax dan mengendap melalui koridor gedung sekolah tua itu. sampai di persimpangan menuju perpustakaan ia hentikan langkahnya, celingukan kesana-kemari mencari-cari sesuatu yang tidak ada, penjaga. Diteruskannya langkahnya hingga hampir mencapai pintu perpustakaan, terkaget ia saat ia seperti ditarik oleh sesuatu ke belakang. Ia menoleh dan ternyata kepala sekolah dibelakangnya.
“Emmm.... Sel....selamat mal...malam, PP..p..p Pak !
“Malam, George. Kenapa kau disini ? tak seharusnya kau belum tidur.”
“ Em... saya... saya... saya seddaaang..... sedang....,” dijawabnya gagap, hingga akhirnya ia tarik nafas panjang ,”Huh....” Pak, saya kesini karena mencari arti dari suatu simbol yang saya temukan tadi siang, Pak. Maaf saya lancang.”
“Hm.... simbol apa yang membuatmu begitu tertarik dan senekat ini ?”
“Itu adalah sebuah simbol dengan gambar dua lingkaran dikelilingi garis bergelombang diatas sebuah garis lurus. Aku menemukannya di sungai, Pak.”
Kepala sekolah terbelalak mendengar cerita George, seolah ia tahu dimana maksud pembicaraan George. Ia tahu sesuatu tentang itu. “Sungai mana?”
George berfikir sejenak lalu menatap mata Kepala sekolah yang sudah terbelalak. Keduanya menebak fikiran lawan bicaranya. Seolah ada telepati antara keduanya. Bersamaan mereka menjawab, “Sungai Beku.”
Kepala menghela nafas panjang, amat panjang, seolah sesuatu yang besar telah terjadi.”George, bisakah kau ke ruanganku sekarang?”
“Tentu , Pak”
Mereka lantas berjalan menuju ruangan kepala sekolah, pintunya terbuka sehingga tampak dari luar bahwa ruangan itu tidak terlalu mewah tetapi sangat nyaman dan menentramkan.
“Dengarkan aku, George,”Kepala sekolah memulai. “Kau tahu bahwa legenda di sini mengatakan bahwa ratusan tahun yang lalu ada perang hebat antara suku Gourt dan Suku Whire di lembah Sungai Beku.”
“Ya, Pak. Dan Sungai Beku menjadi angker karenanya. Tapi mereka akhirnya berdamai dan hidup bahagia hingga saat ini.
“Itu tidak seluruhnya benar, begini cerita yang sesungguhnya. Setelah berperang selama 7 tahun, mereka akhirnya berdamai. Namun, diantara manusia-manusia yang lelah berperang itu, masih ada satu orang yang tidak menerima perdamaian itu. Jim Clarckson, dari suku Gourt, seorang berpola pikir dangkal, emosional, dan menelan semua kenyataan mentah-mentah. Jim memang punya kelainan pada otaknya, tak bisa memaafkan. Di malam pertama perdamaian itu, semua orang tertidur lelap, damai, tanpa ancaman. semua ngaso dari keletihan selama 7 tahun. Tapi tidak bagi Jim. Sambil mengendap-endap ia keluar dari barak anggotanya. Saat itu malam yang terang, bulan purnama bersinar dengan sempurna, menjadikan malam tak ubahnya dengan siang. Hewan-hewan kecil mulai bernyanyi mengiringi kedamaian tidur pada prajurit yang sudah lelah. Jim berjinjit keluar dari baraknya. Dibukanya tenda dengan sangat hati-hati, keluarlah ia. Dipandangnya langit dengan tatapan nanar, saat yang ia tunggu telah datang. ia berlari kecil ke tengah sungai. Dilihatnya air sungai yang sejuk mengalir di sela-sela kakinya. Lalu ia benamkan telapak tangan kirinya dalam air, tangan kanannya mengambil sebuah belati dari balik bajunya. Masih dipandangnya air sungai yang kemilau oleh bulan purnama. Dibacanya sebuah kalimat, bahasa Gourt, ‘Hersaaga seh kipreenastika ik leis ta ozkai’. Air sungai yang tenang itu kini meninggi, sebatas pinggang Jim, hingga ia tak perlu membungkuk untuk telapaknya tetap terbenam. Ia tarik nafas panjang, menegakkan dirinya, dan mengacungkan belati itu tepat di wajah bulan, berteriaklah ia, ‘Hersaaga fisiorta los ques harsuuta’. Ia tutup kedua matanya, ia tajamkan telinganya. Semua prajurit terbangun oleh teriakan Jim, semua keluar dan terbelalak melihat sungai itu. Tiba-tiba air sungai itu naik dan semakin naik, mencapai tepian barak kedua suku, menenggelamkannya. Memenuhi lembah itu dengan air yang tak mengalir. Tak ada yang selamat. Semua terlalu cepat hingga yang menyadarinya pun tak bisa lari. Semua prajurit dari kedua suku bersama Jim, sudah tenggelam, kini melayang dalam air, mencoba berenang ke atas. Tiba-tiba Jim menusukkan belatinya tepat pada jantungnya. Dan seketika itu permukaan air sungai itu menjadi es. Orang-orang yang mencoba berenang tak cukup cepat untuk mendahuluinya. Mereka terperangkap dalam kolam berlapis es. Hanya bisa memberontak pada es itu, dengan mata penuh ketakutan, kengerian, takjub, dan pasrah. Mulut mereka terbuka mencoba meneriakkan sesuatu, namun hanya air yang keluar dari mulut mereka. Mereka memukul-mukul lapisan es itu dengan kepalan tangan mereka, namun percuma. Jim hanya tersenyum pahit. Di cabutnya belati itu dari tubuhnya. Kini darah Jim mulai meninggalkan tubuhnya. Saat darah itu bercampur dengan air sungai, tiba-tiba air itu membeku, dengan semua orang terperangkap di dalamnya. Berpose panik mencoba keluar, tapi telah membeku. Mayat-mayat beku dalam es sepanjang lembah itu. Mayat dengan wajah panik, marah, dan dingin. Hanya satu wajah yang tetap tersenyum, Jim. Arwah semua yang mati hari itu terperangkap dalam belati milik Jim, yang lalu menyala merah dalam es. Berpendar bagai api yang sangat panas. Belati api dalam bekunya es. Esoknya, sinar mentari merah merekah di balik rimbunnya semak di lembah itu, menyinari ratusan mayat beku di sungai Beku. Membenamkan wajah mereka pada es yang kini berkilauan merah karena sinar matahari. Hangatnya segera menyinari bumi hijau. Hari semakin hangat dan semakin panas, namun anehnya es itu tak kunjung mencair. Tetap membatu dengan relief kehidupan yang terhenti. Hingga saat matahari mencapai titik tengahnya, tepat pada wajah bulan tadi malam. Tiba-tiba semua menghilang. Hanya lenyap begitu saja, tidak terbang ataupun ditelan bumi. Es itupun tidak mencair, tapi sekejap hilang bersama wajah-wajah beku di dalamnya. Entah kemana semua mayat, es, tenda, batu, ikan, dan belati itu. semua hilang, lenyap, hanya meninggalkan kabut putih tipis yang sangat dingin di lembah itu. sekejap lembah itu kering, tanpa air. Semua lenyap. Saat matahari mulai padam, terbenam, digantikan cahaya bulan purnama ke 2 bulan itu. semua berubah. Bulan merangkak menuju titik balik pusatnya. Dan ketika ia tiba. seketika terdengar gemuruh dari hulu sungai. Air mengalir deras setinggi bukit membanjiri lembah yang sudah kering itu. bersama batu, ikan, dan belati api. Lembah itu kini menjadi seperti semula, sebelum ada pertempuran, damai. Hanya satu yang berbeda, terselip satu belati kecil dengan kilatan merah sepanjang garis tajamnya, dibawah endapan pasir dalam arus air sungau. Diam, menunggu tuannya yang baru. Dia tak akan dapat ditemukan, kecuali oleh tuannya. Dia tak akan dapat dilihat sebelum ia tersentuh oleh majukan barunya. Hanya tuannya yang telah ia pilih yang dapat melihat dan menemukannya. Dan tuan yang telah dipilih belati itu adalah kau, George.”

4
Pertarungan

George terbelalak. Matanya melotot dan rahangnya terbuka menahan kekagetannya. “Aku ?.... Kenapa harus aku ? Apa yang harus kulakukan?” tanyanya dengan nada kebingungan. Mereka terdiam.
“George, kau harus membebaskan jiwa ratusan orang yang membeku dalam belati itu.” sahut Kepala sekolah akhirnya.
“Aku ? T....tap.....tapi..... tapi... bagaimana ?
“Upacara Deshire.”
“Ap.... Deshire? Aku tidak mengerti.”
“Itu adalah upacara pembebasan arwah yang terperangkap yang dilakukan oleh nenek moyang kita ratusan tahun lalu. Upacara yang mengerikan namun kau harus melakukannya agar arwah mereka tidak mencari sahabat.”
“Sahabat ?”
“Kau pikir kemana para gadis dan anak-anak yang hilang setiap tahun dari desa kita ?”
“Baiklah.”Jawab George mantap. “Aku tak takut”.
“Kita lakukan malam ini, karena ini malam purnama pertama bulan ini. Dan bertepatan 222 tahun kejadian berdarah itu. jika tak kau lakukan malam ini, maka malam ini kejadian 222 tahun yang akan terulang tidak hanya di lembah Beku, namun seluruh bumi hijau. Kau harus persiapkan dirimu.”
“Hidup adalah pilihan, namun juga ada takdir. Jika takdirku mati maka aku memang harus mati. Aku siap setiap saat menghadapi takdirku.”
Mereka berjalan beriringan menuju sungai Beku yang menyeramkan. Diiringi terang bulan yang sempurna seperti dulu. Gemericik air terdengar dari air jernih berkilau yang memantulkan sinar rembulan.
“Ini sudah tepat tengah malam. Masuklah ke air dan panggillah belati itu! dengan ini” perintah Kepala sekolah sambil memberikan sebuah kertas usang kecil pada George.
George menjejalkan kakinya pada air jernih itu. saat ia menyentuh air. Dirasakannya suatu detak jantung lain dalam tubuhnya. Detak jantung banyak manusia. Detak itu membuat jantungnya seolah tidak kuat menahannya. Ia serasa hendak terjatuh.
“George ! Jangan mau terjatuh !!!!! itu hanya tipuan mereka !”teriak Kepala Sekolah.
George tersadar oleh teriakan itu . ia coba menahan rasa sakit jantungnya, menuju tengah sungai. Sampai ditengah sungai, ia merasakan suatu yang berbeda dalam tubuhnya. Jiwa lain, bukan jiwanya, jiwa yang penuh amarah, kebencian, dan kengerian. Jiwa Jim.
Tapi George tak sebodoh Jim yang berakal pendek. Ia sadar bahwa dirinya hampir diambil alih. dia sadar dia harus melawan jiwa Jim dalam dirinya. Tak terelakkan pertempuran dalam diri George terjadi. Dari luar Kepala Sekoalh dengan cemas melihat George yang seperti orang kesetanan. Berbicara dengan dua suara. Dua watak, dua tujuan, dan dua pandangan mata.
George terjerembap dalam sebuah tempat yang maha luas. Putih, bersih, tak ada apapun. Lalu didepannya muncul sesosok tubuh dengan pakaian prajurit lengkap dan sorot mata kebengisan, Jim. Jim mengangkat tangannya memegang sebuah belati berkilau merah dan siap menebas leher George. Tapi George sadar.belati itulah yang harus ia rebut sebelum bulan purnama habis. Ia tahu bahwa tak mungkin ia menang dengan mempraktekkan bela diri dari gurunya. Ia hanya bisa menghindr dari serangan-serangan Jim, dalam situasi kritis, tiba-tiba ia sadar bahwa Jim kalah dengan amarahnya sendiri. Ia tak akan kalah seperti Jim. Ia duduk bersila, berkonsentrasi, membuang semua fikiran dalam pikirannya. Terfokus. Jim siap mengayunkan belatinya membelah kepala George. Diayunnya belati itu. tapi tiba-tiba belati itu hilang, begitu juga dirinya. Kini George menang. Ia kembali menguasai dirinya.
Ketika George sadar, Kepala Sekolah sudah berteriak teriak, “Cepat, Waktunya !” George mengerti. Ia benamkan telapak tangan kirinya, tangan kirinya memegang kertas usang dan kemudian ia baca ,” Hersaaga seh kipreenastika ik leis ta ozkai”. Air sungai itu meninggi setinggi lutut, kemudia dilanjutkannya membaca ,”Hersaaga fisiorta los ques harsuuta’. Tiba-tiba air di sekeliling George meninggi membentur pusaran air dengan George sebagai pusatnya. Mengelilinginya setinggi dua kaki di atas kepalanya. Bagian atas pusaran itu menyatu membentuk suatu puncak. Dari puncak itu melesat sebuah logam berkilau merah. Belati. Air sungai tiba-tiba seperti kehilangan semua kekuatannya. Tiba-tiba berhenti dan terjatuh di tubuh George. George basah kuyup oleh air itu dan oleh keringatnya sendiri.

Belati itu kini melayang di udara terbakar api merah menyala. Kepala Sekolah berseru “George, panggil dia !” George bingung bagaimana memanggilnya. Lalu ia teringat kejadian ketika ia di kerjai teman-temannya. Di gigitnya ujung jari tengahnya, lalu ia memanggil belati itu dengan hatinya. Menyamakan detak jantung dan perasaannya. Belati itu menurut. Ia turun mendekati tetasan darah yang jatuh ke sungai. Ke tangan George. George memegangnya dengan tangan kanan dan tangan kirinya kembali ia benamkan dalam air seraya membaca ‘Hersaaga seh kipreenastika ik leis ta ozkai’. Entah kenapa ia begitu lancar kali ini tanpa menghafalnya. Lalu ia acungkan belati itu ke wajah bulan. Di bacanya ‘Hersaaga fisiorta los ques harsuuta’. Air sungai kembali bergelombang. Namun kali ini hanya setinggi pinggang George, berputar mengelilingi George. Belati itu bercahaya semakin terang. Dari ujungnya keluar kabut-kabut putih yang beterbangan dan menghilang. Arwah-arwah itu sedang keluar dari belati itu. semakin lama semakin kuat. George tidak sanggup lagi berdiri. Ia terjatuh berlutut, tangannya tetap mengacung ke wajah bulan. Tenaga belati itu makin kuat. Cahayanya semakin terang, hingga kilatan cahaya terakhir berwarna merah darah bercampur hitam, George tak mampu lagi bertahan. Ia pingsan di sungai itu.

5
Hanya Belati Biasa

George membuka matanya yang masih sayu. Ia sudah berada di kamarnya, dan ada Kepala Sekolah di samping ranjangnya.
“George !” Teriak kepala sekolah. “Kau sudah bangun ! Kita berhasil !”
“Pak, bukankah saya pingsan kemarin malam ?”
‘Ya, dan kaun pingsan setelah iblis terkuat, yaitu hawa jahat yang ada pada Jim sudah keluar dan lenyap dari belati itu. dan sekarang, ini sudah bukan apa-apa lagi.” Kata Kepala Sekolah sambil menunjukkan belati dari logam, tapi tak berkilau merah. Itu hanya belati biasa sekarang



)*
Dyah uswatun Khasanah
Lahir 4 Mei 1992, penulis pemula
Ekspresionastis, fiksioner
Dreamer, nonlogis
Siswi
0857 36 77 3838
dy.galz@gmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar