Senin, 06 April 2009

DOMBA-DOMBA REVOLUSI









EDITOR : DYAH U. K.



Dipentaskan oleh CUteDz

SMT II/2008







Wajah sebuah kota kecil yang bernama Kotatengah, sudah mati. Tentara dan Laskar sudah menarik diri jauh ke perbatasan. Kini kota itu sudah menjadi kota terbuka, tinggal menanti diambil alih tentara musuh. Namun, di sebuah rumah tembok di sudut jalan itu, nampak gerak hidup yang dramatis. Rumah itu adalah satu-satunya losmen yang ada di situ. Di dalamnya masih ada seorang perempuan dan empat lelaki. Perempuan itulah pemilik losmen itu, sedang empat lelaki itu adalah tamunya. Perempuan itu yang tidak terlalu cantik, namun cukup manis dengan potongan tubuh laras, apalagi ia tak bersuami, umurnya pun baru dupuluh lima tahun.

Tamunya adalah empat lelaki dengan latar berbeda. Seorang penyair yang belum terkenal, seorang petualang yang mengaku sebagai “profesor tabib”, seorang politikus yang tak pernah laku hingga menjadi jejeka tua, dan seorang pedagang yang sudah punya tiga bini.

Dalam keadaan yang gawat tegang, hanya si penyair yang berani ke luar untuk melihat keadaan. Dan di suatu pagi, sekira jam delapan tiga puluh menit, si penyair sudah tiba kembali di losmen setelah ngluyur mencari berita keadaan luar sejak pagi-pagi.

Dia duduk seenaknya di ruang tamu losmen yang tertutup. Ketika sedang enak ia merokok, muncullah pemilik losmen membawa secangkir wedang dari dalam. Perempuan itu melempar senyum yang langsung dibalas dengan senyum sejuk dan anggukan kepala dari si penyair.

Perempuan : Sudah kuduga, bung pasti pulang dengan selamat seperti kemarin-krmarin. Kalau bung sedang keluar aku selalu cemas, takut bung cedera. Maklumlah keadaan begini, sering ada peluru salah alamat.

Penyair : Itulah yang menjadikan aku kagum.

Perempuan : Bahwa bung selalu selamat selama ini ?

Penyair : Bukan itu. Sebab terus terang saja, aku sendiri tidak terlalu peduli dengan keselamatanku.

Perempuan : Aneh.

Penyair : Kedengarannya. Tapi memang begitulah.

Perempuan : Lantas apa yang bung kagumi ?

Penyair : Pernyataan saudari tadi.

Perempuan : Aku tidak mengerti, jelaskan.

Penyair : Maksudku pernyataan saudari itu ...

Perempuan : Ya. Kenapa.

Penyair : Hikmahnya begitu puitis terasa.

Perempuan : Apa itu pu – i – tis.

Penyair membuang puntung, minum beberapa teguk. Pandangannya pada si perempuan penuh arti yang ditandai dengan senyuman.

Penyair : Hm... bagaimana caraku menjelaskan.

Perempuan : Tak bisakah dengan cara yang tidak luar biasa ?

Penyair : Begini. Maksudku, pernyataan saudari tadi terasa mengandung unsur kasih sayang yang tulus.

Perempuan : Oooo... Begitu ?

Penyair : Ya begitu, dan baru kali ini aku merasa ada yang menaruh perhatian terhadap keselamatanku. Dan itu pun seorang wanita.

Perempuan : Ah si bung ini ngomong yang bukan bukan.

Penyair : Bagiku tidak. Pernyataanku barusan bukan omongan iseng.

Perempuan : Boleh saja bung ngomong begitu. Kan bung sekarang jauh anakbini. Sudah lumrah kalau bung dijangkiti kesepian hati. Naluri lelaki, umumnya begitulah.

Penyair tertawa kecil sambil meneguk wedang.

Penyair : Berpacar pun belum. Tapi aku ngerti kalau saudari akan sulit mempercayai omonganku. Naluri wanita, selalu penuh prasangka.

Perempuan : Naluri yang baik kan. Tapi baiklah kuanggap omongan bung tadi benar. Dan bagaimana keadaan di luar sama ?

Penyair : Ha, pintar mengelak bicara juga. Jika itu menarik perhatianmu, baiklah. Di luar, tambah gawat. Kota ini sudah telanjang dari segala pertahanan. Tentara dan lasakar sudah tidak ada. Tapi aku masih melihat kemungkinan untuk menyingkir dari sini. Apa saudari sudah siap-siap ?

Perempuan : Untuk apa ?

Penyair : Tentu saja untuk ngungsi selekas mungkin !

Perempuan : Untuk ngungsi dari sini, aku belum berpikir. Aku belum punya rencana.

Penyair : Alasan saudari ?

Perempuan : Alasan pribadi.

Penyair : Aku tidak mengerti.

Perempuan : Baguslah. Begitu sebaiknya.

Penyair : Aku berharap saudari memikirkannya segera. Kita diburu waktu, itu soalnya. Tapi jika memang itu pendirian saudari, terserah. Lantas bagaimana dengan ketiga tamu itu ?

Perempuan : Baik saja. Tapi aku berharap mereka segera pergi dari sini. Aku sudah cukup sendat oleh mereka. Bung tahu, sebenarnya losmen ini sudah seminggu lalu kututup, aku tak mau ambil resiko dalam keadaan genting begini. Kalau tak ada paksaan dari para penguasa, aku tak akan mau menerima kedua tamu , tuan pedagang dan pemimpin itu. Juga tuan tabib itu, biar dia langganan disini, sudah pasti ku tolak bila tanpa kata pengantar dari seorang opsir langganannya.

Penyair : Dan bagaimana dengan diriku ?

Perempuan : Bung nginap disini sudah lebih dari setengah bulan. Dulu bung waktu kemari bilang kehabisan duwit. Tak ada kerja pasti selain menuliskan pengalaman dalam bentuk apa itu, pu-i-tis.

Penyair : pu-i-si.

Perempuan : Ya, pu-i-si. Kejujuran bung lah yang menggerakkan hatiku untuk menolong bung buat sementara termasuk makan-minum boleh utang sampai tulisan bung sudah laku.

Penyair : Terimakasih, jadi sampai kini aku masih saudari terima dengan hati terbuka ?

Perempuan : Bung masih sangsi ? Tapi apa maksud bung dengan perkataan ‘hati terbuka’?

Penyair : Ya, kelak saudari akan mengerti sendiri.

Penyair bangkit menuju ke pintu. Henti di ambang, dan bersandar dengan memasukkan kedua tangan pada saku celana

Penyair : Apa sebab tuan-tuan itu bikin sendat saudari ?

Perempuan : Coba pikir ! aku harus jadi tukang masak sekaligus pelayan mereka. Satu hal yang belum pernah kualami selama membuka losmen. mereka bukannya berterimakasih, malah selalu menggerutu. Lagipula lagi sekarang persediaan makanan sudah hampir habis. Masih ditambah mereka bertingkah laku kurang ajar !

Penyair ketawa dengan suara tertelan, ia membuka kunci pintu.

Perempuan : Bung mau ke mana lagi ?

Penyair : Ke luar. Aku perlu tahu keadaan sebelum pergi dari sini.

Perempuan : Tunggu, eh maksudku, bung tentu tidak akan pergi tanpa kembali kemari lagi, kan ?

Penyair : Barang-barangku masih di kamar. Dan masih ada alasan lain untuk aku kembali. Sebab aku menaruh sayang pada keempat nyawa yang ada di sini. Khususnya saudari.

Perempuan : Hati-hatilah.

Penyair melempar senyum, terus ke luar. Si pemilik losmen buru buru menyusul ke pintu, menongolkan kepalanya ke luar sesaat. Dan pintu ditutupkan kembali. Lega hembuskan nafas panjang, bersandar dekat pintu. Tangannya ditutupkan pada wajahnya. Hingga ia tidak tahu bahwa petualang dan pedagang sudah berada di ruang itu, dan memperhatikan ke arahnya.

Petualang : Selamat pagi nona.

Perempuan : (tersentak kaget, gugup memandangi kedua lelaki itu).

Pedagang : Hm... mana dia, si seniman itu ?

Petualang : kami perlu ketemu sama bung seniman. Barusan kami dengar suaranya dari belakang.

Perempuan : Dia ke luar lagi. Melihat keadaan di luar.

Petualang : Hm... anak berani.

Perempuan : Alangkah baiknya kalau tuan-tuan suka membantu dia.

Pedagang : Maksud nona, kami ikut keluar dalam keadaan gawat begini ?

Perempuan : Ya. Itupun kalau tuan-tuan cukup berani.

Pedagang : Kenapa tidak nona saja yang ikut ke luar ?

Perempuan : Apa !?!

Petualang : Sudah, sudah. Maaf nona, bapak ini punya penyakit darah tinggi. Jadi ijinkan aku tanya pada nona. Apa saja yang diceritakan olehnya sebelum ia pergi ?

Perempuan : Dia bilang keadaan tambah gawat, dan tuan-tuan sebaiknya segera pergi.

Petualang : terimakasih nona. Kami akan segera pergi, Cuma soal waktu saja.

Perempuan : Ya. Makin cepat tuan pergi, makin baik.

Pedagang : Bung prof, ku pikir betul. Mari kita segera siap-siap untuk pergi.

Petualang : Tentu pak, tapi belum saatnya. Kita mesti nunggu bung seniman untuk memberi tahu keadaan di luar. Demi keselamatan kita sendiri. Bukankah begitu nona ?

Petualang : Tak ada urusan kalian selamat atau tidak. Pokok kalian cepat pergi dari sini.

Petualang : Tak usah kuatir, nona. Kami akan bayar ekstra untuk pelayanan ekstra seperti makan dan minum . . . .

Perempuan : Dengar ! Kalau aku beri makan kalian, bukan karena aku mengharapkan untung, tapi hanya semata-mata karena aku merasa belas pada tuan-tuan. Silakan saja tuan makan uang yang begitu tuan banggakan. Dan ingat, sebentar lagi tak ada makanan buat kalian, sebab memang persediaan makanan sudah hampir habis sama sekali. Jadi baiknya kalian segera pergi dari sini.

Perempuan terus masuk ke ruang dalam. Begitu ia pergi, pedagang hendak meburu dan menghajarnya.

Pedagang : Kau perempuan . . . .

Petualang : Ssssttt. Tenanglah Pak. Tak ada gunanya menyerang betina itu. Di sini, bagaimanapun juga posisi kita serba kalah kalau menghadapi dia. Simpan dulu dendam itu. bila bapak tak ingin mati mendadak akibat darah tinggi.

Tiba-tiba diluar kedengaran suara ledakan. Pedagang dan petualang buru-buru tiarap ke lantai. Dengan ketakutan, pedagang menggumamkan doa selamat (baca do’a serius tapi lucu)

Pedagang : Tuhan – Tuhan, lindungi hambamu ini. Hamba masih senang hidup.

Petualang : (bangkit, mengusapi pakaiannya yang terkena debu. Mencibir senyum getir ke arah pedagang yang masih tiarap ketakutan. Pelan-pelan menggamit pundak pedagang.)
Sampai detik ini, doa bapak terkabul. Bapak masih diijinkan hidup.

Pedagang : (geragapan bangkit, bibir gemetar, menyambar cangkir dan minum isinya)

Petualang : Tenang pak, ledakan masih jauh. Duduk dulu pak, turunkan dulu darah bapak yang mulai menanjak itu. jangan dicekik kepanikan.

Pedagang : Persetan, pokoknya aku mau segera pergi dari sini.

Petualang : Silakan jika ingin mati konyol. Tapi jangan coba bujuk aku ikut. Pak, dalam keadaan begini krtitis, nyawa kita tergantung dari perhitungan logis dan tenang. Aku juga akan pergi, tapi nanti.

Pedagang : Lantas apa yang bung tunggu ?

Petualang : Berita. Dari si seniman. Yang akan meyakinkan aku untuk terkena peluru nyasar sesedikit mungkin.

Pedagang : (mengangguk, ikut duduk)
Hm... bung benar juga.

Tiba-tiba pedagang bangkit hendak melangkah.

Pedagang : Mau tengok bapak pemimpin. Jangan-jangan dia pergi tanpa mengajak aku.

Petualang : Tak perlu. Aku jamin. Barusan tadi saat lewat kamarnya aku dengar dengkurannya, pasti tengah mimpi enak.

Pedagang : (duduk, menghembuskan napas lega)

Petualang : Maaf Pak ya. Aku lihat bapak begitu kuatir kehilangan pemimpin itu ?

Pedagang : Memang. Tapi itu urusanku sendiri. Urusan dagang.

Petualang : Aku tak bermaksud ikut campur urusan bapak. Aku cuma tertarik karena bapak pemimpin itu seorang politikus. Ah ... aku kan seperti bapak juga. Sering berurusan dengan para pegawai tinggi. Aku pun juga tahu kode dan ethik antar pedagang. Aku Cuma ingin memberi sekedar jasa-jasa baik berupa saran-saran kalau memang bapak perlukan. Seperti saranku baruan tentang jangan pergi sekarang dulu.

Pedagang : Ya. Mungkin ada sedikit saran bung yang kuperlukan.

Petualang : Dengan satu syarat.

Pedagang : Bah !?! duwit kan ?

Petualang : Keliru. Bantuan ini kuberikan atas dasar kesetiakawanan. Syarat yang kumaksud adalah kepercayaan. Tegasnya saling percaya antara aku dan bapak.

Pedagang : Oo kalau Cuma begitu aku tak keberatan, ya aku percaya sama bung.

Petualang : Nah, katakanlah apa yang bakal terjadi jika bapak pemimpin itu pergi tanpa bapak ?

Pedagang : Aku akan rugi uang dua juta rupiah ! Negara punya utang padaku dan bapak itu yang kuanggap barang jaminan.

Petualang : Apa beliau mau ?

Pedagang : Harus mau ! Dia bertindak sebagai perantara. Dia dapat komisi sepuluh persen dariku, tapi baru lima persen aku beri. Sedang aku sendiri belum terima sesen pun. Dan dia janji, bila keadaan negara jadi gawat, utang negara hanya dapat dibayarkan bila aku mengikutinya ke Kotaselatan, ibukota pemerintah darurat kita.

Petualang : Jadi tujuan bapak berdua ke kota selatan ? Tapi kenapa musti nginap dulu di sini lima hari lima malam ?

Pedagang : Aku cuma ikut dia saja. Katanya, karena pertimbangan situasi politis militer, perlu henti dulu di sini. Lagi pula aku tak peduli kemana dia akan pergi. Pokok utangku yang dua juta rupiah segera di bayar. Begitu aku terima duwit, aku balik ke Kotautara. Meski kota kediamanku itu sudah diduduki musuh, itu tidak penting, aku akan tetap buka perusahaan. Pokok, duwit dua juta itu kukantongi.

Petualang : (ketawa)

Pedagang : Apa yang bung anggap lucu hah ?

Petualang : Apa arti dua juta rupiah, kalau di kota kediaman bapak, duwit itu dinyatakan tidak laku karena musuh sudah mengedarkan uangnya sendiri ?

Pedagang : Hm... kalau begitu aku akan minta du juta rupiah itu dibayarkan dengan logam mulia saja

Petualang : Emas, maksud bapak ?

Pedagang : Ya. Emas

Petualang : Bapak memang berotak pedagang sejati. Tapi dalam keadaan begini kukira itu bukan gagasan yang teramat bagus. Bapak bisa didakwa egoistis. A-Nasionalis dan rekasioner, sekaligus ! rasanya dakwaan itu sudah cukup jadi alasan untuk melidikwir seluruh utang negara pada bapak.

Pedagang : Tidak ! Aku tak bisa terima ! Sudah berapa banyak hartaku yang ku berikan untuk negara. Hampir setengah dari penghasilanku ku sumbangkan demi perjuangan.

Petualang : Nilai sumbangsih bapak pada perjuangan tidak kuragukan. Tapi bung juga harus memikirkan keadaan sekarang ini. Keadaan negara sedang gawat. Dimana-mana senjata lebih banyak bicara sebagai keputusan pengadilan. Bapak harus sadar bahwa sekarang, kebanara-kebanaran tetap disalahkan bila yang berkuasa kebetulan bilang : salah !

Pedagang : Wah, bung menakut-nakuti saja !

Petualang : Bapak salah tangkap lagi. Aku tak bermaksud mengintimidasi bapak. Semua itu kusampaikan hanya karena rasa setiakawan.

Pedagang : Hm... hebat si bung ini. Lantas menurut bung, apa bung masih melihat kemungkinan-kemungkinan lain ?

Petualang : Ya. Masih ada.

Pedagang : Mari bung katakan saja

Petualang : Itu aku keberatan. Kecuali kalau ...

Pedagang : O... jangan kuatir bung. Tanpa bung pinta aku mengerti. Aku akan rela berikan “uang jasa” seperlunya, eh memuaskan.

Petualang : Bapak lagi-lagi salah tapsir. Kuingatkan, aku tak mengharapkan sesen pun dari bapak untuk semua ini.

Pedagang : Lantas ........ ?

Petualang : Aku minta satu syarat sederhana. Bapak harus bersumpah untuk tidak menyebut sumber atau orang yang memberi saran pada bapak. Bagaimana ?

Pedagang : Aku jadi tambah yakin dengan kejujuran si bung. Baik, aku bersumpah, demi Tuhan sudah tentu.

Petualang : Terima kasih. Begini pak. Aku lihat kemungkinan yang sekaligus akan menghilangkan seluruh harta bapak disamping yang dua juta dan ..... nyawa bapak. Nah, kemungkinan itu, justru ku duga dari sahabat bapak sendiri. Bapak pemimpin itu !

Pedagang : Dia ?!?

Petualang : Ya. Itu sudah pasti.

Pedagang : Sungguh di luar dugaanku. Lantas, bagaimana ?

Petualang : Nanti setibanya di kotaselatan, bapak bukannya akan dapat yang dua juta. Tapi duwit bapak akan dirampok sama dia dan kakitangannya. Lalu dengan dakwaan bapak seorang anasional, reaksioner, bapak akan disingkirkan tanpa acara, tanpa upacara, tanpa berita. Dan pemimpin itu tinggal menyita seluruh kekayaan bapak dengan topeng “demi kepentingan Rakyat – demi perjuangan !”

Pedagang : Masya Allah ! sampai sejahat itukah kemungkinan yang bisa menimpa diriku.

Petualang : Terserah kalau bapak tidak percaya. Itu kalau bapak suka main spekulasi dengan nyawa bapak sendiri, lho.

Pedagang : Percaya bung. Lantas, apa yang mesti ku perbuat ?

Petualang : Apa bapak membawa surat tagihan yang dua juta ?

Pedagang : Ya ada.

Pedagang merogoh saku, dengan hati-ahti sekali dikeluarkannya sebuah sampul panjang terlipat. Tapi dengan satu gerakan tangan si Petualang memberi isyarat agar tidak di perlihatkan.

Pedagang : Barangkali bung mau baca, boleh.

Petualang : Oh, tidak. Simpan saja baik-baik. Apa bapak juga membawa akta-akta kekayaan bapak yang di rumah ?

Pedagang : Itu sengaja ku tinggalkan di rumah. Kusimpan dalam lemari besi bersama benda-benda seperti emas-intan. Tapi kunci lemari besi ada ku kantongi.

Pedagang memasukkan lipatan sampul ke kantong kembali. Lalu merogoh kantong lainnya, dan dengan hati-hati dikelurkannya seikat anak kunci, kemudian dimasukkannya lagi.

Petualang : Bagus. Kekayaan bapak di rumah aman. Tapi surat tagihan yang dua juta itu berbahaya. Jangan sampai jatuh ke tangan beliau itu.

Pedagang : Baik, Lantas apalagi yang musti kulakukan agar semua selamat ?

Petualang : Bapak balik ke kota kediaman bapak. Batalkan rencama untuk megikuti beliau. Sabarlah, tagihlah duwit itu kalau kelak situasi sudah berubah. Smentara bapak bisa teruskan usaha dagang yang sekarang terbengkalai akibat bapak memburu-buru yang dua juta.

Pedagang : Tapi Bagaimana caranya aku bisa seorang diri pulang ke Kotautara ?

Petualang : Itu soal gampang. Begini pak. Kebetulan sekali aku hendak ke Kotabarat, dan melewati Kotautara. Tentu aku akan suka menemani bapak dalam perjalanan.

Pedagang : Jika begitu, Alhamdulillah ! aku merasa senang, aman ditemani bung. Nah, bagaimana caranya agar kita bisa aman tiba di Kotautara ?

Petualang : Serahkan soal itu padaku. Jika keadaan memaksa, aku tidak keberatan berkompromi dengan musuh dengan batas-batas tertentu. Kukira bukan suatu perbuatan khianat. Dan aku sebagai seorang pengusaha partikelir, dalam keadaan begini, punya alasan-alasan itu semua.

Pedagang : Bagus bung. Aku percaya sama bung. Lantas, kapan kita berangkat ?

Petualang : Harus ditunda sampai ada berita dari si seniman. Supaya aku yakin kota ini benar-benar mutlak dikuasai mush dan tidak ada lagi gerilya di pojok-pojok jalan. Begitu ada berita itu, aku langsung bicara dengan perwira mereka dan minta perlindungan.

Pedagang : Tapi bagaimana kalau musuh gagal merebut kota ini ?

Petualang : Menurut logikaku, kemungkinan itu sangat kecil. Namun jika itu terjadi tentu kita bisa adakan perubahan rencana disesuaikan unsur ruang waktu, dan keadaan.

Pedagang : Baiklah kalau begitu.

Pedagang dan petualang terus melanjutkan percakapan sambil ketawa-ketawa. Datanglah Politikus dari ruang alam. Wajah dan kepalan tangannya manandakan badai amarahnya.

Politikus : Mana opsir itu ?

Pedagang : Siapa Pak ?

Politikus : Opsir yang dulu mengantar aku kemari. Akan kuperintahkan ia untuk menutup losmen ini.

Petualang : Bukankah losmen ini memang sudah ditutup untuk umum sejak lama ?

Politikus : Persetan ! maksudku agar losmen ini disita guna kepentingan perjuangan.

Pedagang : Opsir itu sampai kini belum juga menampakkan diri.

Politikus : Apa hah, belum juga kemari ?!? Celaka !

Petualang : Maaf pak, kalau boleh numpang nanya, kenapa bapak begitu bernapsu untuk menutup losmen ini ?

Politikus : Sebab dia, perempuan itu kurang ajar. Bah, mentang-mentang punya losmen ia berani menghinaku, bahkan terang-terangan ia berani mengusir aku.

Pedagang : bapak benar, perempuan rendahan itu kelewat brandal ! Dianggapnya kita orang-orang yang tidak terhormat.

Si pemilik losmen muncul di ambang pintu ruang dalam. Wajahnya membiaskan perasaan dongkol-geram. Dengan tenang ia maju beberapa langkah ke depan. Lalu ledak tawanya penuh dengan ejekan.

Perempuan : Ooo..., alangkah terhormatnya tuan-tuan yang terhomat ini ya.

Politikus : Dengar ! Dengan apa yang ia ucapkan sendiri. Hah ! Tutup mulutmu !

Di luar titiba-tiba kedengaran ledakan peluru. Politikus dan pedagang buru-buru tiarap ke lantai. Petualang tenang saja. Juga perempuan itu tetap berdiri tanpa rasa kaget sedikitpun. Perempuan tersenyum mencibir melihat kelakuan dua lelaki yang sedang tiarap ketakutan di lantai. Suara ledakan hilang. Petualang buru-buru menggamit kedua orang itu, memberi isyarat agar segera bangkit. Keduanya bangkit dengan wajah cemas. Politikus mengusapi debu pada pakaiannya dan matanya melotot geram ke arah perempuan yang dibalas dengan cibiran. Pedagang buru-buru ambil cangkir wedang, terus diminum sisa-sisa isinya sampai tandas.

Politikus : Baik, kali ini kau menang nona. Tapi lihat nanti. Sebentar lagi nona akan diusir seperti nona mengusir kami.

Perempuan : Oo, tuan mau tunjukkan taring tuan ha ? sialakan, di bakar pun rumahku aku tak akan mengeluh.

Politikus gemetar marah, namun sebelum sempat bicara si Petualang cepat melerai.

Petualang : Sudahlah, pak. Sia-sia saja meladeni perempuan macam begitu.

Perempuan : Alangkah hebatnya ucapanmu itu tuan tabib obat kuat ! Apa maksud tuan dengan perkataan “perempuan macam begitu”, hah ?

Petualang : Nona sudah cukup pengalaman. Sudah bisa menafsirkan sendiri dengan tepat.

Perempuan : Hah, alangkah sayangnya tuan-tuan yang mengaku manusia-manusia tergormat, tidak tahu cara menilai kehormatan diri-pribadi.

Politikus : Cukup ! bicara nona sudah kelewat batas susila !

Perempuan : Alangkah lucunya tuan bersikap “sok susila”. Apa tuan lupa kemaren malam Tuan membujuk aku dengan janji-janji muluk, agar aku menjadikan losmen ini satu perusahaan bordil atasan. Dan agar aku suka jadi selir tuan secara tidak resmi ..... !

Politikus : Itu aku protes ! nona dengan sengaja menyalahtafsirkan pembicaraanku. Nona mau memeras aku. Nona mau main intrik ya ! Awas, akan ku tuntut !!!

Perempuan : Silakan ! Besok boleh sekarang juga boleh. Tuan boleh protes seribu kali !

Politikus menghantamkan satu kepalan tangannya ke meja. Mau menjawab, didahului pedagang.

Pedagang : Ingat nona ! bapak ini pejabat tinggi yang berkuasa di sini. Jangan nona ngumbar bicara, mentang- mentang ...

Perempuan : (menyahut)
Mentang-mentang apa ! Aku tak peduli siapa tuan-tuan ini. Di mataku, tuan-tuan tak lebih dari lelaki biasa yang sok alim, sok susila ! yang pintar bersandiwara untuk menghormatkan perbuatan isengnya yang sama sekali tidak terhormat !

Pedagang : Suara nona seperti guntur !

Perempuan : Peduli apa ! ini rumahku.

Pedagang : Celaka ! Perempuan ini sudah tiak waras !

Perempuan : Pikiran tuan sendiri bagaimana, hah ? Waras ? Kalau tuan waras, kenapa malam kemarin tuan ngluyur masuk ke kamarku, mau apa tuan ?

Pedagang : (gugup,kelabakan)
Bohong ! Aku tidak ngluyur ke kamar nona malam itu, aku cuma, eh cuma, cuma.... mimpi. Aku cuma salah alamat masuk kamar nona.

Pedagang terus duduk gemetar, mukanya ditelungkupkan ke meja, malu. Politikus hanya memandangnya dengan setengah nganga. Petualang senyum masam. Si perempuan ketawa pedas.

Perempuan : alangkah tengiknya lelucon tuan ya. Tetap saja mau putar-putar main sandiwara untuk menutupi tingkah lakunya yang tidak terhormat. Pakai alasan penyakit mimpi segala. !!!

Petualang : ku peringatkan nona, kalau sampai terjadi hal-hal yang tidak enak atas bapak pedagang itu akibat tekanan darah tingginya, nona musti bertanggung jawab.

Perempuan : Apa selama sengketa ini tuan-tuan merasakan sebgai hal yang enak. Begitu liciknya tuan untuk bersiasat dan mengancam seorang perempuan. Tidak, tuan-tuan. Semua ini bukan karena aku tapi karena tuan-tuan sendiri !

Petualang : Aku hanya mengingatkan nona, tak ada maksudku untuk bersiasat, nona.

Perempuan : Hah, tuan tabib ! lupakah tuan bahwa tiap tuan kemari selalu menyodorkan keedanan padaku ? Tepat seperti bapak pemimpin itu. Malah lebih edan lagi. Lantaran selain menginginkan diriku,malah-malah tuan hendak menjadikan aku propagandis obat-obat kuat tuan. Ya apa tidak ? Coba bantah semua dakwaanku kalau memang tuan hendak menunjukkan kehormatan diri !

Petualang mencoba menutupi kesalahannya dengan tertawa hambar.

Petualang : Martabatku tak sekonyol yang nona pikirkan. Demi martabatku aku tidak akan melayani ocehan nona.

Perempuan : Hh... martabat tuan-tuan tidak lebih tinggi sedikitpun dari martabatku. Tuan-tuan dengan ini pula, secara hormat dalam tempo sependek-pendeknya tuan-tuan harus angkat kaki dari sini !

Lalu dengan cepat si Perempuan masuk ke ruang dalam.

Politikus : Aku tidak terima penghinaan biadab ini. Aku protes !

Petualang : Simpan saja protes bapak. Percuma. Mending kita pikirkan keamanan nyawa kita sendiri.

Politikus : Bung betul. Aku setuju !

Politkus menihat jam tangannya. Dengan cemas ia menghantam meja.

Politikus : mana opsir itu ! Janjinya ia menjemputku sejak pagi tadi.

Petualang : Aku kuatir opsir itu tidak akan muncul kemari untuk selamanya.

Politikus : Apa bugn bilang ? tidak akan kemari ? Hee bagaimana bung bisa bilang begitu, hah?

Petualang : Bagaimana tidak ! Situasi sekarang sudah gawat. Berita terakhir yang kami terima menyatakan kota ini sudah menjadi kota terbuka, tinggal menanti detik-detik di ambil alih musuh.

Politikus : Opsir itu bertanggung jkawab penuh atas nyawaku. Itu tugas dari si Opsir. Walau kota sudah di ambil alih musuh, opsir itu harus kemari, menyelamatkan aku !

Petualang : Kukira ia merasa lebih bertanggungjawab atas nyawanya sendiri. Ia merasa punya alasan dalam keadaan begini untuk tidak menjemput bapak.

Pedagang : Aku setuju sama bung petualang. Dan jika kita ngkat kaki dari sini tanpa pengawalan kuat, rasanya resiko atas nyawa kita terlalu besar.

Politikus : Lantas bagaimana ?

Pedagang : Pak, aku mencabut niatku mengikuti bapak ke pedalaman.

Politikus : Nanti bung teriak-teriak karena utang bung tidak di bayar.

Pedagang : Tidak pak. Biar tidak di bayar sekarang, tidak apalah. Besok saja kalau sudah aman kutagih. Aku mau balik ke Kotautara saja. Maaf pak. Aku punya tanggungan nyawa tiga biniku dan tujuh orang anak. aku tidak bisa mati sekarang. Kiranya aku pun lebih membantu perjuangan bila terus menjalankan perusahaanku yang sekarang macet akibat mengikuti bapak.

Politikus : Ya ya... aku mengerti. Silakan saja. Aku tidak akan memprotes bung.

Politikus lalu menghampiri petualang

Politikus : Bung tentu suka menemani aku ke pedalaman bukan ? bung akan dapat fasilitas yang memuaskan serta ajakanku adalah kehormatan besar bagi bung.

Petualang : Terimakasih. Tentu aku akan senang memenuhi harapan bapak.

Politikus : Bagus...

Petualang : Tapi tidak dalam keadaan segawat ini. Maafkan saja, mengingat keadaan begini aku tidak bisa penuhi harapan bapak.

Politikus : Sial ! sekarang keadaanku dalam “fait a compli”

Petualang : Kalau boleh aku berikan saran, tentu lebih baik agar bapak balik saja.

Politikus : Maksud bung, menyerah para musuh ?

Petualang : Aku tidak menyarankan agar bapak menyerah dalam arti politis. Hanya menyerah untuk keselamatan nyawa bapak.

Politikus geram, menghantamkan kepalan tangannya pada alas meja.

Politikus : Hah, kalau saja di opsir itu disini, bung akan ku suruh seret ke tahanan dengan dakwaan bung dalam keadaan perang telah membujuk seorang pembesar untuk bersekutu dengan musuh !

Petualang : Bapak salah tafsir ! Aku tidak menyarankan bapak bersekutu dengan musuh. Tapi menyerah atas nama pribadi, karena didesak oleh keadaan yang kata bapak “fait a compli”. Suatu keadaan yang memaksa diplomat kita berpikir secara taktis-politis, lebih baik menyerah kepada musuh. Dan bapak tentu tahu bahwa tidak bisa dituduh sebagai kolaborator. Sebab tindakan mereka itu dalam banyak hal lebih menguntungkan perjuangan diplomatik kita, daripada para diplomat tewas sia-sia di medan pertempuran akibat peluru nyasar.

Politikus mondar-mandir sesaat, berpikir keras.

Politikus : Hm... alternatif yang tidak dapat dielakkan. Apa boleh buat. Aku sudah di pojokkan dengan “fait a compli”. Aku harus menyelamatkan otak dan nyawaku demi kepentingan perjuangan politik kita.

Petualang : bapak sungguh bijaksana. Jika demikian, bapak jangan main spekulasi dengan nyawa bapak sendiri.

Politikus : Terimakasih atas rasa simpati bung. Ya bung sebagai saksi kalau aku menyerah kepada musuh bukan karena pengkhianatan. Aku menyerah karena memang sudah berada di luar kemampuanku untuk mengatasi suasana. Dengan sebagai akibat suatau keadaan “fait a compli”

Petualang : Justru sebaliknya pak. Dengan tindakan itu bapak sebagai diplomat, politikus, telah menunjukkan kebijaksanaan bapak berpikir. Bapak sebagai politikus tugasnya berjuang menghadapi musuh dengan jalan diplomasi. Bukannya main “sok pahlawan” ikut-ikutan angkat senjata.

Politikus menghampiri si petualang, dengan memberikan pujian berupa gerakan tangannya menepuk-nepuk pundak si petualang.

Politikus : sekiranya saja aku sudah mengenal bung lebih lama, tentu aku akan pertimbangkan bung untuk jadi pembantu-utamaku di bidang taktis.

Politikus kembali mondar-mandir.

Politikus : Memang benar, apa rtinya jika aku mati sekarang

Semua hening, tetapi mendadak ketiga orang itu meledak tawanya. Lalau Politikus menghampiri si petualang.

Politikus : Bung, pikiran bung begitu logis. Memang bung, dalam keadaan begini tidak ada jalan lain selain menyerah, bial masih ingin hidup. Dan dengan norma-norma diplomatik, nanti aku akan minta penlindungan untuk bisa selamat sampai ke Kotautara.

Politikus mendadak berubah wajahnya, ia ingat sesuatu. Dia bicara pada dirinya sendiri.

Politikus : Tapi bagaimana dengan semua dokumen-dokumen rahasia yang kubawa.

Petualang : Satu-satunya cara untuk menyelamatkan semua rahasia-rahasia yang bapak bawaitu ialah : bakar ! itu akan menambah bukti bahwa bapak bukan seorang kolaborator yang menjual rahasia-rahasia negara.

Politikus : Pikiran yang bagus ! Aku mau bakar dulu !

Politikus buru-buru masuk ke ruang dlam. Si pedagang cepat menghampiri petualang.

Pedagang : Bung bagaimana sih ! sekarang malah mengajak serta orang itu !

Petualang : Ssssttt ! jangan kuatir pak. Aku sudah atur semua ini. Beliau setidaknya akan lebih menjamin kita dalam perjalanan.

Pedagang : Lalu kalau dia ikut, bagaimana dengan kemungkinan niat jahatnya untuk menggagahi duwitku yang dua juta ?

Petualang : Tidak akan. Di Kotautara beliau sama sekali tidak punya kekuasaan apa-apa, tidak punya kaki tangan. Dan di sana praktis sebagai sandera musuh.

Pedagang : Hm... kalau begitu baiklah.

Petualang : Kupinta dengan amat sangat, agar bapak bersikap seolah-olah antara kita berdua tidak ada hubungan dan rencana sesuatu selama ini.

Politikus muncul lagi sambil membersihkan kedua telapak tangan yang kena bakaran abu.

Politikus : (lega)
Beres !

Mendadak kedengaran orang membuka pintu depan dari luar. Ketiga orang yang ada didalam semua terkejut. Serentak mereka memandang ke arah pintu. Dengan pandangan tegang.

Seniman masuk, menutup pintu lagi. Sesaat ia memandangi ketiga orang itu. Dan setelah sampai dekat meja, meletakkan ranselnya dengan hati-hati. Ketiga orang itu memburu menghampirinya.

Petualang : Bagaimana bung ?

Penyair : Susah

Politikus : Susah bagaimana ?

Penyair : Hampir seluruh kota dikuasai musuh. Sudah tak ada perlawanan sama sekali dari pihak kita, karena posisi kota amat merugikan.

Petualang : Dengan kata lain kota ini praktis dikuasai musuh ?

Penyair : Begitulah

Politikus : Apa yang bung bawa dalam ransel itu ?

Penyair : Beberapa biji granat tangan.

Pedagang : Apa ! ge-ra.....

Pedagang : Buat apa itu barang bung bawa kemari ?

Penyair : buat membela diri. Aku Cuma bawa lima. Akan kubagikan pada saudara-saudara.

Politikus : Maksud bung, kami ini bung suruh maju perang ?

Penyair : Semua lelaki yang masih mampu, sekarang dimobilisir untuk aktif ikut membantu pertahanan kita dengan ikut angkat senjata. Termasuk aku dan saudara-saudara.

Politikus : Tidak bisa, aku protes ! Aku ini diplomat bung. Bukan tugasku ikut-ikutan maju perang.

Pedagang : Aku juga bung, aku sedang penyakitan mencari dokter darah tinggi.

Penyair : (membuka ransel)
Tak ada paksaan untuk berjuang. Tapi hendaknya membawa granat ini untuk berjaga-jaga ...

Petualang : (memberi isyarat agar si penyair membatalkan niatnya)
Bung simpan saja. Kami sungguh tidak memerlukannya. Tutup saja ranselnya.

Penyair : (tersentak keheranan)
Meski aku dapatkan lorong-lorong yang masih agak aman untuk bisa lolos sampai ke perbatasan, tapi saudara-saudara sangat perlu bawa granat. Siapa tahu di tengah jalan mendadak kita kepergok patroli musuh.

Petualang : soalnya begini bung, kami justru mengharapkan segera ketemu dengan mereka.

Politikus : Bung, kami dengan alasan yang kongrit telah ambil putusan untuk tidak ambil resiko mati konyol. Tak ada jalan lain lagi selain menyerahkan diri semata-mata hanya demi keselamatan nyawa kami.

Petualang : Jelasnya, bapak kita ini telah ambil keputusan untuk membatalkan niatnya ke pedalaman.

Pedagang : Juga aku bung. Aku mau balik saja

Petualang : Dan aku sendiri tetap melanjutkan rencanaku ke Kotabarat.

Penyair memandang geram meghampiri politikus

Penyair : Pak, perjuangan kemerdekaan tak keenal menyerah. Tapi kenapa bapak kini malah mau menyerah, mau kompromi. Bagaimana sih ?

Politikus : Jangan bung berkuliah padaku. Sebagai diplomat, aku mau berunding semeja dengan musuh bukan berarti bahwa aku mau jual belikan kemerdekaan. Brunding dan kompromi dengan musuh bukanlah hal haram.

Petualang : Beliau benar bung. Banyak cara untuk ikut berjuang. Beliau diangkat sebagai pemimpin karena rakyat percaya akan kebijaksanaan beliau sebagai politikus.

Penyair : Bukan maksudku melempar dakwaan pada bapak pemimpin bahwa beliau mau nyeleweng. Tapi jika keadaan mendesak seperti ini, kalau perlu langsung terjun ke medan pertempuran. Nah, sekaranglah kesempatan itu terbuka !

Politikus : Bung seorang pembuat syair pantun kan? Tentu tahu ati kata simbolik. Simboliknya ucapan seorang politikus. Dalam keadaan yang begitu “fait a compli”, aku ambil putusan dengan segala resiko, langsung terjun ke tengah-tengah musuh guna melawan mereka dengan diplomasi.

Penyair : (ketawa pahit)
Bicara bapak memang cukup bernada diplomatis. Maaf jika aku menagtakan bahwa sikap saudara-saudara ini adalah sikap banci ! Sikap egoistis ! Pengecut pula !

Politikus : Aku protes dakwaan bung yang begitu keji !

Petualang : Harap bung bisa menghormati pendirian kami. Bung tuduh pengecut ? baik kuterima. Memang benar aku pengecut – penakut dalam hal mati konyol. Bung kalau mau mati, jangan menyeret-nyeret orang lain, matilah sendiri !

Tanpa mereka ketahui, tahu-tahu si Perempuan sudah muncul dekat ambang pintu dalam.

Perempuan : Tuan yang terhormat itu betul, bung tidak berhak memaksa orang lain !

Semua hadir dengan kaget serentak mengarahkan pandangannya pada si perempuan.

Perempuan : Biarkan tuan-tuan terhormat itu memilih jalannya sendiri. Biarkan mereka segera pergi dari sini.

Tanpa bicara dengan sikap angkuh si Politikus buru-buru masuk ke ruang dalam. Diikuti oleh si petualang dan si pedagang. Perempuan hanya tersenyum memperhatikan mereka. Dia lalu menghampiri Si Penyair.

Perempuan : Debat kalian kudengar dari balik pintu

Penyair : Sangat kusesalkan peristiwa ini. Percuma saja membuang waktu dan energi.

Perempuan : Tdiak ada yang perlu di sesalkan bung. Bung tidak salah !

Politikus muncul dengan mengenakan jas. Lengannya mengelit mantel. Tangan kanannya membawa kopor bagus. Di susul si pedagang mencangklong kopor besar. Kemudian si petualang dengan mencangklong kopor dan aktentas. Tanpa melihat kearah penyair dan perempuan, mereka langsung menuju pintu masuk. Sampai di ambang pintu politikus berhenti, ragu, memberi tanda pada petualang untuk berjalan di depan. Petualang sendiri sesaat ragu, tapi ia mengangguk dengan senyjm masam.terus menghampiri politikus.

Petualang : Dengan seijin bapak, aku akan minta pamit dulu pada pemilik losmen.

Petualang lalu menghampiri perempuan. Sedikit membongkok memberi hormat.

Petualang : bagaimanapun juga nona, kami punya kesadaran normal, untuk menyampaikan kepada ona, terimakasih yang sebesar-besarnya atas semua peyanan yang telah diberikan meski semua itu nona lakukan karena terpaksa dan dipaksa.

Si perempuan bungkam saja. Sikapnya acuh tak acuh. Dengan perasaan dongkol, sipetualang terus menuju ke pintu. Pintu dibuka. Terus keluar. Disusul politikus dan pedagang. Begitu mereka pergi penyair menutup pintu lagi. Agak lemas ia bersandar dekat ambang. Si perempuan lepas tawanya.

Perempuan : Tuan-tuan yang terhormat itu agaknya lupa membayar segala ongkos menginap dan bayar makannya.

Penyair : Amal.

Perempuan : Ya. Sekedar buang sial. Mereka mau pergi dari sini itu suatu pahala besar bagiku.

Penyair : sekarang giliran saudari. Sudah siap-siap ?

Penyair : Kita pergi

Perempuan : Oooo ! bung, aku tidak bisa tinggalkan tempat ini..

Penyair : Timbangkanlah lagi putusanmu itu.

Perempuan : Sudah kutimbang. Entah untuk berapa puluh kalinya. Hasilnya tetap.

Penyair : (menghampiri perempuan)
Aku Cuma tidak ngerti, apa yang jadi dasar alasanmu untuk tidak pergi dari sini.

Perempuan : Pentingkah itu untuk bung mengerti ?

Penyair : Satu keharusan untuk kumengerti.

Perempuan : Kenapa ? Kenapa kau begitu banyak menaruh perhatian ?

Penyair : sebab saudari juga menaruh perhatian padaku.

Perempuan bangkit, gelizah, kepala ditundukkan. Melempar senyum getir.

Perempuan : Ah, itu kan hal yang lumrah jika seorang tuan rumah menaruh perhatian pada tamunya.

Penyair : Tapi perhatianmu lebih dari itu.

Perempuan hendak menyahut tapi didahului penyair.

Penyair : Jangan bantah, jangan. Aku lelaki, aku bisa merasakannya dari sorot mata dan bias wajahmu. Aku rasai pasti, karena aku lelaki.

Keduanya diam sejenak. Penyair lesu duduk. Wajahnya jadi mendung.

Penyair : Jalan hidupku penuh azab-siksa batin. Di umur tahun kelima, aku sudah yatim. Ibuku pergi diantar penyakit jantung. Bapakku tak peduli algi, meski aku anak tunggal. Tega ia mengasingkan aku dari kasih sayangnya. Aku belum pernah meneguki rasa kasih sayang dari siapapun juga.

Perempuan : Jadi yatim dalam pengasingan adalah jauh lebih baik daripada hidup di kandang rongrongan ibu tiri kan ?

Penyair : Mungkin sekali.

Perempuan : Selama itu, bapakmu membujang sajakah ?

Penyair : Dalam umurku ke tujuh belas, aku dilepas. Bapakku hendak nikah lagi. Aku bisa memahami alasannya untuk emngusir diriku, sebab aku lelaki. Sejak itu aku pergi mengembara tanpa patokan hidup.

Perempuan : Jadi si bung belum pernah lihat ibu tiri sendiri ?

Penyair : Memang aku tidak mau tahu apa dan siapa dia. Tapi cerita dari kampung yang tertangkap pengembaraanku, mengisahkan bahwa bapak mempelainya sehari sesudah nikahnya. Malang, keesokan malamnya bapak mati bersama lawannya dalam suatu perkelahian tanding. Lawannya adalah bapak kandung si dara yang merasa terhina karena sikap bapakku itu.

Perempuan terisak, penyair tersentak, bangkit mendekati si perempuan.

Penyair : kenapa ?

Perempuan mencoba menahan isakan tangisnya,dia menghindar jangkauan tangan penyair.

Perempuan : Aku terharu sekali. Maksudku aku terharu pada cerita bung. Tentu bung amat membenci bapak bung dan gadis itu.

Penyair : Pada bapakku memang. Tapi pada perawan malang itu tidak. Pada dara malah itu aku malah menaruh rasa iba. Eh, untuk pertama kali inilah aku menaruh kepercayaan pada orang lain untuk mau menerima tuangan kisah hidupkku. Dan orang itu adalah kau.

Perempuan : Kenapa mesti padaku bung menaruh kepercayaan. Aneh sekali.

Penyair : Sepanjang hidupku pada kaulah aku menaruh kepercayaan hatiku....... pada sorang wanita.

Perempuan : Kenapa musti padaku ?

Penyair : Sebab, kaulah yang pertama menaruh perhatian pada hidupku.

Perempuan ketawa, menghindari jngkauan tangan penyair

Perempuan : bung salah. Dugaan bung sama sekali tak benar.

Perempuan menutupkan kedua tangannya ke muka.

Penyair : Kau boleh bicara begitu. Tapi aku yakin suara hatimuy lain. bukankah begitu ? Apa pula yang kau ratapi ?

Perempuan menggeleng sambil menahan sedunya. Dia lalu duduk menelungkupkan mukanya pada meja.

Perempuan : Sayang sekali. Kau belum mengenal siapa aku.

Penyair : Aku tidak peduli siapa kau. Aku sudah mengenal hatimu, itu lebih dari cukup.

Perempuan tengadah menghapus air mata. Mencoba senyum.

Perempuan : Lelaki dewasa dalam usia tidak selalu dewasa dalam tindakannya. Bung akan menyesal bila ini berlarut-larut. Lupakanlah ! Aku menolak semua harapanmu !

Penyair : (menghampiri si perempuan)
Ada lelaki lain dalam hatimu barangkali ?

Perempuan : Ya ! Lelaki yang pertama dan terakhir kalinya.

Penyair lemas. Lesu pula ia mendudukkan diri.

Penyair : Maafkan. Aku tidak tahu sebelumnya.

Perempuan : Kita tidak perlu bermaafan bung. Tak ada yang salah, tak ada yang benar.

Perempuan lalu buru-buru masuk ke dalam, dengan cepat dibawanya sebuah kopor kecil yang sudah usang. Menghampiri penyair, menyodorkan kopor itu.

Perempuan : Sebelum hati bung lebih didera kecewa dan sebelum serdadu musuh ke sini.

Penyair menerima kopor. Dia bangkit sambil menyandang ransel.

Penyair : Tanpa alasan lain selain demi kelanjutan hidupmu, mari kita berangkat dan berpisah di perbatasan.

Perempuan : Berangkatlah bung. Berangkatlah seorang diri.

Penyair : Aku tidak mengerti kenapa saudari mau tetap bertahan diri.

Perempuan tertawa kecil.

Perempuan : Aku telah bebas bung. Aku telah dapati semua cita hidupku, sekarang. Di tempat ini aku hidup tehormat tanpa menggantung pada belas kasihan orang lain. tanpa belas kasihan lelaki. Kehormatan itulah yang mau kupertahankan.

Penyair : Perkenankanlah aku menyampaikan rasa hormatku pada saudari. Kaulah perempuan sejati yang pertama ku kenal.

Perempuan : (melempar senyum sambil menahan perasaan yang remuk redam)
Selamat jalan anak muda anak muda ! Selamat jalan !

Penyair melangkah dengan lesu. Diluar kedengaran bunyi tembakan beberapa kali. Sesaat penyair berhenti di ambang pintu sesaat pula penuh rasa haru ia memandangi si perempuan. Penyair membuka pintu, terus keluar. Si perempuan buru menutup pintu. Lalu lemah ia menyandarkan diri dekat ambang. Wajahnya tengadah.

Perempuan : Tuhanku ! Lindungilah jalan hidup anak muda yang telah mencintai yang perempuan yang pernah di sahkan sebagai ibu tirinya.

Dengan agak terhuyung ia seperti mau jatuh rebah ke kursi. Mukanya ditelungkupkan tenggelam dalam isak sedunya. Mendadak pintu diketuk orang dari luar. Si perempuan kaget cemas memandang ke arah pintu lantas mengusap air matanya. Pintu terus diketuk-ketuk. Si perempuan bangkit menghampiri pintu

Perempuan : Siapa ?

Petualang : Buka pintu, nona !

Perempuan dengan ragu membuka pintu. Petualang muncul. Perempuan kaget. Dia mundur beberapa langkah ke belakang. Petualang melempar senyum sambil menutup pintu kembali.

Petualang : Maaf, aku telah mengagetkan nona.

Perempuan : Tuan mau apa lagi datang kemari ha !

Petualang dengan enak saja duduk di kursi.

Petualang : Sabar sedikit nona. Aku datang membawa kabar suka dan kabar duka.

Perempuan : Tuan bicaralah seperlunya. Terus terang saja aku berharap tuan segera keluar dari rumah ini.

Petualang : Baiklah nona, eh, sebaiknya berita duka dulu ku sampaikan. Kusampaikan berita kematian bapak pemimpin serta bapak juragan besar kita. Semoga arwahnya dilapangkan dengan damai di alam baka. Amin ! sehubungan itu aku memintakan maaf mereka berdua pada nona.

Perempuan : (mengangguk)
Hanya sayang sekali, sayang sekali tuan tidak ikut jadi almarhum.

Petualang ketawa getir sekali

Perempuan : Bagaimana tuan bisa selamat seorang diri ?

Petualang : Mereka jadi almarhum lantaran mereka mengandalkan emosi dan rasio.. begitulah, tatkala kedua beliau melihat mobil patroli kavaleri musuh, mereka dikuasai emosi kepanikan. Emosi mereka bilang, lari ! larilah mereka tanpa perhitungan. Musuh tahu. Curiga bersusul bunyi, dor ! dan almarhumlah mereka.

Perempuan : (tertawa getir)
Tapi bukankah tuan lebih gembira atas kematian kedua almarhum ?

Si Petualang sesaat agak bingung jadinya, tetapi cepat pula ia menguasai diri.

Petualang : Nona ternyata tak sekerdil yang kukira. Memang terus terang aku senang dengan kematian kedua almarhum. Sebabnya mereka membahayakan perjuangan dengan sifat egoistis mereka yang dapat kambuh sewaktu-waktu. Sifat itu dapat membahayakan rakyat jika ternyata disalurkan dengan main suap dan main korupsi. Itu menjadi alasan bagiku untuk lebih merasa bergembira atas kematian mereka.

Perempuan : Sudah ?

Petualang : Ya. Dan berita sukanya, pertama : kota ini mutlak dikuasai musuh. Kedua : bahwa aku dapat jaminan kebebasan bergerak dan perlindungan militer dari mereka.
(mengeluarkan amplop dan lipatan sampul dari sakunya)
Ini yang paling menggembirakan. Juragan besar itu melimpahkan banyak rejeki padaku dari kematiannya. Sampul ini berisi surat tagihan sebanyak dua juta dan kunci ini akan bisa membuka lemari besi penuh berlian dan emas. Dan bila semua ini ada di tanganku, tentu nona sudah mengerti artinya bukan ?

Si perempuan tersentak. Dengan penuh rasa benci ia memandang si petualang.

Perempuan : ya aku ngerti. Lantas apa perlunya tuan menunjukkan padaku semua itu ?

Petualang : Aku yakin, nona tahu artinya hidup enak sebgai seorang jutawan.pendeknya nona akan memiliki kekayaan dan kesenangan yang berada di luar jangkaua idaman nona selama ini .

Perempuan tanpa membalas terus membalik. Melangkah menuju pintu ruang dalam.

Petualang : (menghampiri si perempuan)
Nona tak perlu ragu lagi menerima penawaranku. Tak ada waktu. Sebentar lagi kita akan dijemput konvoi menuju tempat yang aman.

Pelan-pelan perempuan membalikkan diri. Pandang matanya tak lagi menyorot kebencian.

Perempuan : Tuan menjamin semua itu ? jika ya, aku ikut tuan. Aku berkemas dulu.

Perempuan masuk ke ruang dalam. Si petualang ketawa kecil, sebuah tawa kemenangan. Lalu ia menandai kemenangannya dengan ucapan pada dirinya sendiri.

Petualang : Dia berpikir bahwa besok pagi sudah jadi jutawan. Alangkah lucunya. Heh, dia tak pernah tahu bahwa kunci lemari besi dan surat tagihan dua juta milik si pedagang tolol itu, kubeli dengan menjual dirinya sebagai perempuan rendahan.

Petualang melongok ke pintu dalam. Ketawa lagi, ketawa setan.

Petualang : Inilah puncak kemenanganku. Kemenangan akal ! dedam berbalas, harta terampas !

Kedengaran orang mengetuk pint dari luar.

Petualang : Ha serdadu itu sudah tidak sabar lagi. Lelaki yang lapar, sabarlah !

Tenang si petualang menghampiri pintu, terus dibuka. Seorang serdadu masuk.

Serdadu : Mana itu perempuan.

Petualang : Tunggu sebantar.

Si perempuan muncul. Tersentak ia melihat kehadiran serdadu.

Petualang : Nah, itu dia. Bagaimana, sudah ?

Si perempuan cepat menguasai diri, ia melempar senyum buatan pada serdadu. Lalu ramah uacapannya tertuju pada si petualang.

Perempuan : Tolonglah sebentar ke dalam.

Si perempuan lalu cepat masuk ke ruang dalam lagi.

Petualang : bagaimana ?

Serdadu : Hm... lumayan.

Petualang : Cukup untuk memuaskan selera. Tunggu sebentar aku mau bantu ia berkemas.

Si serdadu mengangguk. Petualang buru-buru masuk ke ruang dlam. Sambil mengambil rokok dan menyalakannya. Si serdadu duduk sambil ketawa kecil.

Serdadu : Cukup manis

Si perempuan muncul lagi, ia henti dekat pintu ruang dalam. Kedua tangannya disembunyikan ke belakang. Wajahnya penuh ketegangan. Napasnya terengah, tertahan-tahan.dia melempar senyum bikinan.


Serdadu : Jangan takut

Perempuan : Oo tidak. Tidak maukah tuan menolong aku ?

Si perempuan memberi isyarat gerakan kepala agar serdadu masuk ke dalam. Serdadu ketawa, mengangguk tanda setuju sambil melempar puntung. Tanpa prasangka ia masuk ke dalam sambil mencubit pipi si perempuan. Cepat pula perempuan menyusulnya. Lalu terdengarlah suara orang lelaki, suara jeritan tertelan. Si perempuan muncul lagi, langkah mundur. Matanya tajam barapi ke arah pintu ruang dalam. Pada wajah dan bajunya tetesan darah melumuri basah. Sebilah belati yang masih berlaburkan darah tergenggam pada tangan kanannya. Dadanya tersengal-sengal. Sampai di tengah ruangan ia henti. Menghembuskan nafas panjang. Pandangannya pada belati yang digenggamnya. Lambat ia menggelengkan kepalanya. Lambat pula kedengaran suaranya yang berat pasti.

Perempuan : Janganlah hanya karena aklu secara kebetulan membunuh seorang pengkhianat dan seorang serdadu musuh, alalu aku dinilai sebagai pahlawan.

Pintu masuk diketuk keras-keras dari luar. Si perempuan membalikkan diri. Sesaat ia menatap pintu itu digedor-gedor. Lalu ia tengadah, bibirnya gemetar. Pelupuk matanya basah.

Perempuan : Tuhanku, ampunilah arwah mereka yang kubunuh dan yang akan membunuh aku. Ampunilah arwah domba-domba revolusi yang sesat !

Gedoran pintu makin keras. Si perempuan dengan langkah pasti menuju pintu. Tenang ula pintu itu dibuka, dengan gerak yakin ia melangkah keluar. Terdengarlah lelaki yang kena tikam dan disusul rentetan suara tembakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar